Telah kusampaikan pesan-pesan usang pada langit,
hujan dan bebatuan, sebab ini bukan cerita picisan. Aku tak pernah selesai
mengeja biru, pada karam awan senja,pada hitamnya awan
yang menggantung.Karena lidahku kelu dan selalu terkecoh jika aku menyebut namanya.
Masih sama seperti hari-hari kemarin. Di balik
akasia, burung-burung itu bersembunyi, bermain teka-teki dengan
gedung dan lonceng tua. Bersamaan dengan munculnya burung-burung itu, aku
menggeser bangku kayu yang hampir ambruk, pinggir-pinggirnya berjamur dan
bolong di sana-sini. Semakin akrab aku dengan bangku kayu, semakin
burung-burung itu menghampiriku. Seraya mengucapkan selamat datang, mereka
menari-nari mengelilingiku.
“Wahai petualang, selamat datang. Cerita apa yang
kau bawa pagi ini?”Burung gereja
berbulu ungu dengan paruhnya yang
lancip selalu menyapaku hangat. Aku tersenyum meletakkan biola dan tas punggungku, perlahan mulai menyalakan sebatang rokok.
“Cerita tentang kawanmu yang buron, aborsi,
pengkhianatan, pejabat cabul, anak jalanan, orangtua selingkuh, birokrasi yang
semrawut,teroris atau korupsi
yang marak hehe?” Si sayap putih
selalu menjebakku dengan pernyataan-pernyataan yang tak pernah salah. Aku
mengedipkan mata dengan harapan dia masih mau mendengarku.
“Ayolah bicara, aku telah lama menunggu. Kau ingin
aku mengadu atau mengeluh?”Tambah
si sayap hitam berputar-putar mengelilingi kepalaku. Nampak tak sopan, tapi
begitulah cara dia menebar kehangatan.
Telah berlalu rasa pilu ini. Aku menyerah. Menjadi sepatu tua bagi si
mata besar memang menyakitkan.
Otakku sudah tak sanggup mendengar kata-kata nyinyir dari mulut
mungilnya: feminis, gender,
pemberdayaan, hak perempuan, martabat, emansipasi, eksistensi atau apalah.Kadang
aku kebingungan dan tak mengerti, ada saja yang dia bicarakan jika bertemu.Menurutku
kepedulian dia terlalu luas dan tak spesifik atau bisa jadi aku yang sudah jenuh dengan apa yang
terjadi.
Dia seperti sosok bidadari
yang memiliki dua wajah, hitam dan putih, baik dan buruk, bijak dan kejam, kasar
dan halus.Hidupnya berlalu antara dua kesepakatan menikmati atau menggugat.
Si mata besar, bunga adelia yang cantik, semakin temerang dikelilingi
ilalang, tapi keliarannya sangat melelahkan mesti dia bukan jalang. Ah! Mengapa
aku cerita tentang si mata besar? Bukankah
dia sudah pergi dengan kekasih nya? Yang lelaki kah? Atau perempuankah? Bukankah
dia baru saja sembuh dari sakit yang dibuatnya sendiri? menghilangkan gelembung
di perutnya? Rehabilitasi narkoba? Studi keluar negeri? Bunuh diri? Entalah aku
tak sanggup percaya pada kabar yang ku dengar.Cape.Semoga saja kabar itu
berasal dari burung-burung yang salah melihat.
Selalu begini. Aku dipenuhi pikiran-pikiran buruk tentang si
mata besar. Tak satupun lirik-lirik laguku ditanggapinya. Dia berlalu bagai waktu,
meninggalkan setapak nyeri yang lambat kuhapus. Riak senyum dan geraknya
membuatku terseok-seok antara menepi atau kembali. Apa yang kurang dari si mata
besar? Tak ada, selain sifat angkuhnya dan ketegasan yang membuat dirinya
semakin menjulang di antara deretan bara dan iba.
Aku menarik nafas. Setengahnya waktu dia adalah
jalanan, gedung kesenian, panti asuhan dan perpustakaan, mesti dia gadai dengan
bioskop, salon, kafe, dan klub malam. Mata besar adalah malam, tapi dia malam
yang dipenuhi kejora dan rembulan.
Aku tak sanggup lagi menjadi ekor bagi sosoknya
yang meraksasa. Dia tak kenal baik, benar, bijak, atau salah, buruk dan bobrok.
Dia cuma kenal tepat. Baginya segala sesuatu adalah nisbi, dan kekosongan adalah
definisi bagi hatinya yang bagai
gunung es.
Saat kutuk yang tertidur ini kuayunkan, pada kedua mata besar itu, mungkin dia
tengah bergumul dengan peraduannya. Letih kurangkai kata, bahkan tak tahu dari
mana memulainya. Seketika aku menjadi bayi besar yang cengeng. Pertanyaanku
seolah tak butuh jawaban. Segalanya bertumpuk pada kedua pipinya yang selalu
merona. Bagai salju putih yang diberi sepuh. Si mata besar memiliki pesona yang
sanggup membuatku bungkam.
Ular berbulu kelinci itu tak mudah ditikam,
menyentuhnya pun butuh waktu tiga tahun. Untuk berdialog
dengannya butuh syair seindah punjangga.Untuk bertemu dengannya butuh waktu
lama dan tak terduga, dan untuk berbagi
dengannya, aku harus kehilangan.Entah
apa yang membuat dirinya demikian naif hingga tak mampu menjaga rahimnya
sendiri.
Aku tersenyum. Beberapa burung ikut-ikutan
tersenyum. Entah menghibur atau sekedar menguatkanku. Aku tak mau tahu. Dan
lebih baik tak mau tahu,
terlalu banyak hal yang harus kuketahui, tapi aku tak sanggup menjadikan ini sebagai pengetahuan.
Meskipun
begitu, si mata besar telah menjadikan hatiku hidup kembali. Tidak penting
apakah itu menyakitkan atau menyenangkan. Terlalu tipis perbedaannya. Yang
penting buatku: dia telah memberikan nilai lain dalam hidupku. Nilai tanpa
nominal yang mampu menjadi
batas bagi keterbatasan imajiku dalam memahami sosok hawa.
Tak perlu kuhancurkan memori-memori itu dalam
ingatanku. Biarkan saja. Bayangan itu datang dan pergi sesuka hati. Aku tak
akan pernah menolaknya. Menolak dirinya sama saja mendatangkan serentetan perih dan tawa. Ingatan itu tak
pernah tua. Ibarat bangunan kuno, dia tertinggal beberapa tahun silam tapi
tetap meninggalkan jejak yang selalu baru, segar dan menarik. Sebab waktu tak pernah memberi batasan kapan akan memulai atau berhenti, dia berjalan sesuai dengan
kodratnya tanpa melihat kanan, kiri, belakang atau depan.
Entahlah, saat apa yang paling tepat untuk
kujadikan tumbal bagi penebusan luka ini, yang pasti aku ingin pergi jauh. Berjalan terus bahkan berlari dari
bayangan si mata besar.
Beberapa rintik hujan menyentuh kepalaku. Angin
senja seperti mengajakku pulang. Kaus oblong hitamku terkoyak-koyak disapunya.
Aku terbengong. Burung-burung sudah letih mendengarku.
“Ada
lagi cerita lain, petualang? Aku sudah tak tertarik lagi mendengarnya. Kau
nampak seperti perempuan!” Ledek
si bulu abu-abu sambil mematuk-matuk batang pohon. Aku spontan terhenyak.
Mencoba tersenyum.Tapi tidak enak aku terdiam.
“Tidak hanya perempuan yang bisa sedih dan
menangis. Laki-laki juga bisa. Masalah hati kan
tidak melihat gender!,” Kata si bulu ungu membelaku. Aku diam menatap mereka satu per satu.Sedikit
sepakat tapi gengsi.
“Sudahlah petualang, kamu jangan cengeng. Ceritamu
hanya jadi santapan para seniman untuk dijadikan bahan ide atau tertawaan malah. Hidup itu begitu
kerdil kalau kamu terus berkutat pada masalah yang sama. Ibarat berjalan di
tempat, tidak ada perubahan,” si bulu abu-abu menyerocos.
“Jangan sering-sering menengok ke belakang, nanti
kamu terjatuh!” kata si bulu hijau ikut nimbrung. “Si mata besar itu hanya perempuan yang tak bisa
dijadikan standar absolut, untuk menilai berjuta perempuan lainnya. Jadi
sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi keajegan perempuan-perempuan di dunia,”
si abu-abu berbisik-bisik mengitari kepalaku.
“Baru sakit satu atau sepuluh perempuan saja sudah
kalang kabut. Bagaimana kalau seratus perempuan menyakiti kamu? Seperti apa
nanti terpuruknya kamu? Sebuah resiko harus kamu tanggung untuk menebus sebuah
pilihan?” tambah si bulu putih.
Burung-burung melingkariku. Aku ibarat poros inti
dari lingkaran itu. Burung-burung itu terlihat serius bicara, meski diselingi
terbang ke sana kemari.
“Kalau tidak binal, bukan betina namanya. Jadi
wajar saja perempuanmu begitu, mungkin kamu sendiri yang tak bisa menjaga dia
sampai kecolongan membuat rumah di dalam rumah. Ke mana saja, pak?” si bulu
kuning nyeletuk nyaring. Burung yang satu ini memang jarang bicara, sekali
bicara biasanya suka pedas dan
menyengat.
“Ya
sudah, pulang sana. Hari mau hujan, jangan sampai kamu mati kehujanan,” kata si
bulu putih. Burung-burung yang lainnya serempak tertawa.
Aku mengambil biola dan tas yang terasa berat. Entah karena beban tas, atau
beban dalam diriku sendiri. Aku tersenyum. Sungguh tak mungkin aku bertemu mata
besar lagi.Dia berlalu dengan kebencian yang dalam, meski aku tahu itu hanyalah
kamuflase.Saat kutampar kedua pipinya yang merona, saat itu pula dia berkata
setengah berteriak, “pergi dan jangan kembali, lelaki tanggung sepertimu hanya
merusak sejarah hidupku!”.
Meski aku sadar, akulah yang harus mengatakannya,
bukan sebaliknya. Tapi si mata besar tak pernah mau mengakui kesalahannya.
Seolah dirinya terlahir dengan kebenaran-kebenaran yang lazim.
Aku terdiam sesaat. Saatnya kukubur dalam-dalam
peristiwa itu. Bukan tak mengakui aku kalah, tapi ini bukan pertarungan.
Aku
kaum Adam mencintai engkau Hawa
Walau
harus hidup dengan dosa kutukan
Ambil
dan buatku, aku tak pernah
peduli
Kau
terbuat dari tulang rusukku
Jangan
ubah kecantikanmu
Menjadi
kebencian dan kesombongan
Karena
engkaulah ibu dari anakku dan juga ibuku
Hawa
indah suciku...
Aku berlari meninggalkan jejak-jejak pada gereja
tua.Hujan makin besar.Satu-persatu burung burung itu menyelipkan pesan
syair untukku lewat dedaunan yang jatuh berguguran.Seperti menunggu jawaban
mereka berkerumun di balik lonceng tua.”Sampai ketemu nanti. Aku akan kembali
setelah ku menemukannya” Teriakku berlalu.
22 Desember 2006.(Bandung)
Tidak ada komentar
Posting Komentar