Tubuhku
terasa lelah dengan perjalanan yang harus ku tempuh.Mungkin karena aku
nyetir sendiri. Jalan yang ku tuju tak bisa di lalui kendaraan,aku menitipkan
mobilku di kantor kelurahan.Desa ini
terlalu penyendiri untuk ku bisingkan, mesti hanya dengan sebuah
bisikan.
Begitulah
sunyinya, hingga suara
kentutpun terdengar bergema disini.Jalan setapak dengan tanah yang memerah, nyaris tertutup dengan rimbiunnya pohon kina dan
alang-alang.Beberapa burung berkejaran dan bersembunyi di balik dahan pohon
mahoni.Aku melihat ada kadal
berbuntut patah, yang
bersembunyi diantara pelepah daun pisang, daun itu sudah
mengering, warnanya coklat keabuan, menggantung tak sempurna.
Kulewati
sungai kecil dengan batu-batuan yang berukuran besar.Di pinggirnya ada jamban
dan celempung, tempat orang-orang kampung mandi dan
berak.Beberapa anak kecil melihatku, mereka kemudian berlari ketakuatan. Mungkin juga malu,
sambil mengambil bajunya yang di simpan di
semak-semak mereka tertawa dan berlarian ke balik pohon. Aku tersenyum. Mereka tak membalas senyumku, melainkan melambaikan tangannya
tampa memperlihatkan mukanya di balik pohon.Mereka mengucapkan selamat
datang kepadaku dengan caranya sendiri.
Aku
berhenti di sebuah warung yang berdindingkan bilik.Bangkunya terbuat dari bambu
dengan paku-paku besar yang menancap sebagai alat penguat, agar bambu bersatu dan tidak jatuh.Jajanan pasar
sederhana segera menggugah selera, ditambah betisku yang terasa berat karena perjalanan yang ku tempuh.
“ Mangga neng,?” Ibu setengah baya menyapaku, kain dan kebayanya Nampak bersih dengan sanggul yang tidak sempurna.Ramah
dan bersahaja.
“ Saya
minta teh hangat ,” kataku tersenyum
“ Mangga, mau kamana neng?”tanyanya
“Ke rumah kakek.Sudah dekat dari sini.Dibalik
bukit itu !” kataku enggan
menyebutkan alamat yang jelas.Si bibi mengangguk-angguk.Dia sibuk melayani pembeli yang memesan kopi
dan makanan kampung lainnya. ada kue bugis, roti kopyor, lantak juga opak dan
rengginang.
Dizaman
yang sudah serba delivered,
penuh dengan makanan instant, dan junk food, makanan desa seperti ini, terasa istimewa di lidahku.Aroma daun-daunan yang
khas berasal dari pohon rasamala, jantungku berdegup kencang.
Dulu, daun-daun ini enak untuk dijadikan
lalaban, kata eyang bagus juga untuk kesehatan jantung.Usiaku masih 5 tahun
saat aku menginjakan kaki kesini, dan aku tak tahu mengapa eyang bersikeras ingin tinggal di sini dan enggan
balik lagi ke kota.Katanya tempat inilah yang bisa mebuat jiwanya tenang,
sejuk dan nyaman.Memang betul.
Aku sudah
melewati kebun singkong yang luas, perkebunan ini duu milik eyang, yang kemudian ditanami oleh siapa saja yang mau.Konon eyang memiliki 15
pegawai yang mengurus kebun singkong, pisang, jagung, kolam ikan, juga yang mengolah sawahnya.Mereka
di beri upah dan dianggap saudara.Tapi sekarang hanya beberapa lahan
saja yang tersisa, habis terjual untuk diberikan kepada anak-anaknya di kota
dan untuk perawatan kesehatan eyang.
Gentingnya
sudah berlumut, namun rumah
berhalaman luas itu tetap menghadirkan aura sejuk dan damai. Aku melangkah
masuk dengan dada di penuhi rindu, sudah 15 tahun aku tak datang kesini, sejak ibuku pindah ke Bali karena
tugas kerja.Dan Ayahku?Aku sudah lama tak mengingatnya, sejak dia meninggalkan
ibu dan pergi dengan sekretarisnya.Rasanya akulah satu-satunya cucu yang paling durhaka di muka bumi
ini.
Eyang
menyambutku hangat, wajahnya sumringah dan nampak kaget dengan kedatanganku.
Aku bahagia berlabuh dipelukannya.Teringat saat usiaku 5 tahun dulu, aku sering digendongnya jika ikut ke balong mengambil ikan.Padahal aku
sudah bisa jalan, tapi kata Eyang, biar kakinya bersih dan tak dimasuki
cacing.Sampai dikolam aku tetap turun ikut mencari ikan.Rasanya senang sekali
bermain air dan lumpur dapat bonus ikan segar pula.
Aku juga suka ikut kekebun, sambil menunggu Eyang, aku
keliling kebun mencari anggrek bulan dan babadotan untuk dijadikan mainan
Masa kecilku cukup dekat dengan Eyang, karena aku sering dititipkan ibuku pada Eyang saat ibu tugas luar kota.Aku
telah menjadikan desa ini adalah
bagian dari jantungku, dan Eyang
adalah detaknya.
Eyang
memelukku erat, tangan kurus itu sulit menjangkauku karena tubuhnya kurus
dan kecil. Namun pancaran cahaya matanya menandakan kebahagiaan
yang tiada tara.Pancaran itu membentuk siluet pada bayangan renta disampingnya,
seolah memahami bahwa pertemuan ini
adalah pertemuan bathin tidak
hanya sekedar wujud.Pertemuan ini adalah pertemuan sacral yang di
saksilkan alam.Pertemuan istimewa.
Raut
mukanya demikian unik dengan mata yang berkantung hitam.Tak ada gejolak pada
mata itu tinggal semangat yang hampir meredup.Mungkin karena usianya yang
hampir 100 tahun atau sosoknya yang demikian renta.Eyang nampak kurang
terawat, walaupun kain dan kebayanya selalu rapi.Eyang hanya tinggal berdua
dengan pembantunya yang setia.Itupun sudah sama tuanya.Kita sudah menganggap
saudara.
Sosoknya
memang sudah renta.Tapi gurat-gurat di keningnya adalah sejarah yang menyimpan makna.Setiap aku menatap matanya, tergambar jelas
sosok perempuan yang sabar, bijak dan pasrah.Aku seperti menemukan kedamaian pada kilauan sorot matanya .Yang tak ku
temukan sebelumnya.
Eyang terdiam
menatapku.Entah apa yang dipikirkannya.Aku sedikit takut karena eyang sangat
mistis.Aku takut semua pikiranku terbaca olehnya.Pikiran yang dipenuhi pertanyaaan yang saling bertumpuk tentang Tuhan, hidup dan mati.Dengan
saling diam kami berdialog dan
Eyang sudah menjawab pertanyaanku dengan bijak.Aku tak perlu lagi harus gelisah atau resah segalanya
telah terjawab oleh sorotan matanya yang sejuk.Semesta menyaksikannya.
Zaman telah
berubah serupa kita tak akan bisa
mengubah waktu.Sebab tua telah menjadi warisan bagi setiap yang
bergerak.Hanya Tuhan yang selalu baru meski waktu telah menjadi tua dan kuno.Usia yang menua
seperti memancarkan peringatan
bagi pongahnya waktu.Ya semua yang di ciptakan pasti akan menua
dan lenyap.Itu Sudah kehendakNya.Aku sudah tak ingin banyak mempertanyakan mengapa dan kenapa?Ada
jawaban yang tak perlu di jawab.
Malam
tenggelam seperti derit pintu yang enggan menutup.Aku meraba kulit
Eyang. Kulit yang sudah
keriput dan menciut seperti mau terkelupas dari tulangnya.Aku sedih sekali.Wujudnya hampir serupa jerangkong. Lembek pipinya seperti lemper
kedinginan.Matanya serupa kabut yang bening dan berselaput, 26 tahun yang lalu aku masih berdendang di
pundaknya yang kokoh dan kini berubah menjadi kulitnya yang
bertumpuk-tumpuk.
Tangannya yang kurus berselaput kulit tak kuat menahan
rokok keretek ditangannya.Eyang masih suka merokok.Abu rokok berjatuhan karena
tangan penopangnya yang tak sempurna, memegang rokok yang tak seberapa
beratnya.Setiap hembusan rokok yang keluar dari mulutnya, membentuk lingkaran
samar, seperti mengisaratkan kehangatan, yang di sodorkan pada setiap bijak
kata. yang hampir surut oleh karamnya malam.Aku tersenyum.Eyang tersenyum.Hanya
isyarat yang menyatukan kami karena Eyang sudah tak bias mendengar.
Kami berrdialog dalam hati.Hanya senyum dan anggukan
yang ku lihat.Matanya seperti tak lelah bercerita.Tentang ramainya truk-truk
bermuatan batu dan pasir.Jalan-jalan yang semakin rusak dan bolong.Hilir mudik
kendaran proyek pembangunan pasar dan kota kecamatan Juga burung-burung tikukur
dan piyik yang berterbangan tak tentu arah, karena sarang-sarangnya yang
menempel pada pohon hancur ditebang.Terdengan
suara dentuman seperti petasan, atau bahan peledak yang sedang memporak
porandakan bongkahan batu.Batu Kudakah?Batu panjang berbentuk kuda.Aku sangat
tertarik sekali dengan batu itu, tapi menurut masyarakat kampung batu itu yang tak jelas, menghalangi jalan dan perlu
dihilangkan.
Aku tersentak.Jangan dihancurkan! Bukankah menurut Eyang
batu itu adalah jelmaan kuda sembrani. Yang ekornya tersangkut di tebing yang
curam saat akan menyebrang dari gunung
Lemo menuju gunung Peuntas.? Lalu menjelmalah menjadi batu. Maka sejak saat itu
kampung ini di beri nama Pasir Kuda.
Apakah masih ada cerita kuda sembrani itu menjadi
identitas suatu desa yang bernama Pasir kuda?Atau itu hanyalah karangan Eyang
agar aku cepat tidur sebab malam sudah larut dan eyang kehabisan cerita? Atau
masyrakat sudah lupa sama sekali karena sibuk dengan kerjaan? dan cerita hanya membuat orang-orang menjadi
ngantuk?
Tapi aku masih merasakan bahwa batu Kuda benar-benar
cerita nyata, tak penting benar atau tidaknya. Tapi batu itu seperti
menjembatani kedekatan bathinku dengan eyang dan jika dihilangkan dan
dihancurkan sebagian keping hatiku seperti hancur.Ah..apakah ini berlebihan? Atau semata karena perasaan cintaku pada kampung ini? Atau
cintaku pada masa laluku dengan eyang?
Tak jelas tapi bagiku ini menyakitkan.
Kulihat raut
muka Eyang sedikit muram, pasti Eyang merasakan hal yang sama denganku.Kadang
kesepakan tak perlu dikatakan, tetapi
mata hati yang akan menjawabnya, kemudian seluruh organ tubuh akan sepakat juga.Kata-kata
sudah tak berguna saat itu.
Eyang memonyongkan bibirnya yang nampak seperti garis
lengkung yang timbul, kepalanya menggeleng pelan pertanda tak setuju.Aku Mengiyakan.Kenapa
demi pembangunan harus menghancurkan
peninggalan sejarah? Anggap saja itu situs yang harus dilindungi.Apa pemerintah
setempat tak sadari itu? Bagaimana dengan generasi selanjutnya jika hidup tampa
sejarah?
Tapi mungkin ini hanya mitos saja.Tapi mitos juga
bagian dari sejarah. Segala yang diciptakan itu punya cerita dan kaiatan dengan kehidupan selanjutnya.Inilah
bukti peradaban.Ups.. aku menarik nafas.Aku tak ingin berfikir dulu kenapa dan
mengapa?Aku hanya ingin bersama Eyang.
Tetapi orang kini lebih membela perut daripada
sejarah.Lagipula mungkin mereka tak tahu yang sebenarnya, karena kebodohan atau
kemalasan. Jadi bisa saja, batu-batu dianggapnya batu biasa, yang harus
dihancurkan toh,,,jalan menjadi lebih lebar dan batu-batunya bisa dijual ke
mandor proyek.Uangnya bisa untuk makan dan menghidupi anak istri.Hidup itu
memang harus berani, kadang dihancurkan atau menghancurkan, dan itu bukan lagi
bahasa baru.Eyang mengangguk-angguk.Aku kut-ikutan juga.
Mengapa setiap hal yang kuanggap janggal, selalu
menjadi pemakluman buat eyang dan serta merta aku seperti di bimbingnya untuk
memahami sisi lain.Sisi yang sulit ku
pahami atau bahkan aku malas untuk memahami.Mungkin juga aku terlalu banyak
bertanya mengapa dan kenapa yang akhirnya bukan jawaban yang ku dapat melainkan
persoalan baru yang makin berkembang.Aku ingin seperti Eyang yang tenang, santun, tidak grasa-grusu, lurus
melihat orang, tidak berpersepsi, tidak emosional, rendah diri dan bijaksana.Tapi apa masih relevan di kehidupan
yang sekarang?Ya relevan-relevan saja! kebaikan itu selalu relevan!
Apa kabarnya
dengan Saung Ranggon? Aku mengusap tangan eyang, abu rokok yang menempel di
sana, eyang lambat sekali menyekanya.Aku takut abu itu masih mengandung api dan
api itu bisa melukai kulit eyang yang sudah rapuh.Aku meniupnya, seperti meniup
busa sabun, berkali-kali sampai bibirku monyong.Aku kembali duduk.
Kami menatap bukit lebat yang kini sudah terlihat
memerah, pertanda pohon-pohonnya habis di tebang. Kemudian ditanami lagi oleh
warga, tak jelas tumbuhan apa, karena jarak yang jauh dari pandangan mata kami.
Yang nampak hanya gundukan hijau kecil
di sela-sela tanah yang merah.Alis eyang seperti mengernyit mencoba mengingat
dengan sangat keras, tiba-tiba ia terbatuk.Aku kaget.Ada apa dengan saung itu?
Saung itu terlihat menyeramkan tak ada orang yang
berani lewat kesana sendirian.Hanya orang –orang yang kebetulan lewat saja ,para
pencari kayu bakar atau peternak yang mengambil
rumput yang berani kesana. Kata eyang dulu banyak yang meninggal disana karena
kelaparan saat pagar betis Zamannya
pemberontakan PKI .Gerombolan tak bisa keluar dari hutan karena dikepung massa.Mereka
kelaparan dan mati di saung itu.Tapi itu sudah lama sekali sekitar tahun 66an
sekitar 44 tahun yang lalu.Apa orang-orang desa ini masih ingat?
Dulu aku sering ditakut-takuti hantu saung ranggon
jika aku nakal.Apa masih cerita itu ada? Apakah anak-anak sekarang dikampung
ini takut dengan kisah saung ranggon? Biasanya cerita mistik lama berakar di
masyarakat ketimbang sejarah.Aku mesem mengingat aku yang sangat penakut sambil
memapah eyang ke kamar.Sepertinya Eyang sudah ngantuk.
Aku berbaring di samping Eyang.Saat gundah itu masih
mengelana, seperti mencari tempat untuk bernaung, untuk lari dari rasa tersakiti,
kehilangan, kesunyian, ditinggalkan, terkhianat, penyesalan, penghinaan,
terbuang, tersisih, kalah, hancur, binasa…
Air mata yang tertahun membuat mataku berkantung,
malam menyisakan lagu rindu dan maaf pada dengkur tubuh renta
disampingku.Kutatap sekali lagi wajah teduh itu, semoga ada pemakluman untukku
yang lama meninggalkannya. Senyum bijak itu seperti menyisihkan sekian gundah
di hati, semoga aku bisa sepertinya yang lapang dan memaafkan semua derita.21 Mei 2004
( Subang)
Tidak ada komentar
Posting Komentar