Aku
pernah bicara padanya, tentang adanya ruang jiwa dalam diriku yang masih
mencari penghuninya. Ruang ini adalah ruang rahasia yang menyimpan banyak
pertanda. Pertanda yang kerap menuntut aku tuk bisa membahasakannya,
menyimpulkannya, dan menjadikannya objek faktual bukan hanya ilusi yang
bercampur baur dengan khayalan dan imajinasi.
Namun
aku tak sanggup menciptakan pertanda itu menjadi sebuah subjek materil. Tak
mampu menafsirkannya, mendistorsikannya menjadi sebuah bentuk dan tak mampu
memaknainya menjadi sebuah peristiwa atau identitas.
Otakku
begitu kaku dan statis jika menyangkut yang ini. Tak bisa dengan mudah menerima
stimulus-stimulus yang bersumber dari pertanda ini. Otakku dipenuhi persepsi
yang terpecah-pecah, tak bisa bekerjasama dengan hati yang tak kalah rumit walaupun,
hanya sekedar merasa dan mengakui. Dan akibatnya, aku seperti makhluk kerdil
yang disimpan dalam ruang hayati yang gelap dan misterius. Namun bagiku, ini
adalah seperti mengalami hidup dengan pertanda: merasakan detak dan getaran
yang bersumber pada energi yang bergerak dan berubah-ubah.
Hanya
padanya sahabatku yang kukenal 10 tahun yang lalu aku bisa berbagi, setidaknya
dia bisa mengalami atau mungkin dia merasakan apa yang kurasakan. Sepertinya
dia bisa kuajak bicara dan memiliki toleransi terhadap pikiranku yang kadang
tak beraturan, terbelah-belah, terpecah-pecah, dan terkotak-kotak.
Quella,
aku memanggilnya. Dia seorang dosen di salah satu universitas di kota ini. Aku
mengenalnya sejak dulu sebagai perempuan pekerja keras, cerdas, dan tentunya:
cantik. Perhatiannya tinggi terhadap sosial, seni, sastra, budaya, pendidikan,
dan kaum perempuan. Mungkin itu yang membuatnya begitu sibuk dengan sebagai
dosen dan penulis.. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menjalankan ini
setiap harinya, tapi aku sudah tahu: Quella memang orang yang ambisius dan
tegas.
Memang,
tak banyak yang kutahu tentang dirinya. Dia tak banyak bicara, bersamanya aku
terus seperti memikirkan pikirannya.kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kami berkomunikasi dengan pikiran. Segala yang kami pikirkan begitu banyaknya,
hingga kami hanya bisa memaknai perubahan-perubahan itu lewat mimik muka dan
helaan nafas. Bahasa tubuh itu yang kami persepsikan kemudian mendorong kami
untuk memahami suatu pikiran yang dengan diamnya kami terima sebagai hal yang
benar.
Tapi
itulah pertautan kami bersama dalam sunyi, sibuk dengan urusan pribadi. Namun
kami saling kuat dan merasa ada. Kebersamaan ini nyata karena kami saling
mempengaruhi, berfikir, memutuskan, dan memahami. Dan itulah fakta kehidupan.
Meski kadang kami tersadar kalau kami telah melewati waktu dengan begitu cepat
dengan keterasingan ini. Apa yang membuat kami begitu berahasia sehingga
perilaku ini begitu terahasia mungkin karena interaksi personal dan lingkungan
psikologis yang membuat kami begitu berahasia. Meski tubuh ini begitu jauh,
kenapa hati ini begitu akrab. Semoga kami masih memiliki toleransi untuk bisa
saling bersama.
Malam
semakin larut saat kutatap keindahan kota ini di balik jendela. Sebatang rokok
cukup menjadi teman untuk sekedar mendengarkan apa yang kurasa. Kerlap-kerlip
lampu kota menghiasi pekat malam seperti pangeran penjaga bagi gedung-gedung
tinggi dan bangunan-bangunan yang berjejer rapi. Tak banyak yang berubah.
Keadaan kota ini sama seperti dulu ketika aku menghabiskan kuliah di sini.
Di
antara kerlipan cahaya itu aku seperti melihat sesosok tubuh yang selalu
tersenyum, tipis, sedikit dan nyaris tak terlihat dengan tatapan mata yang
selalu sayu.
Dalam
keadaan yang sama dulu, ku membayangkan di antara gedung-gedung dan
kerlap-kerlip lampu kota itu aku terbang menggelinding dan membubung merayap
perlahan dengan kecepatan yang tinggi meninggalkan jejak tipis pada
dinding-dinding gedung. Dan bayangan ini akan menggemparkan seluruh warga
sekitarnya karena jejak yang ditinggalkan sudah berganti dengan sesosok tubuh
yang membujur kaku. Menurutku, itu adalah cara kematian yang paling seksi,
paling indah, dan menakjubkan.
Kami
pernah merencanakan meski sekedar imajinasi liar, terbang bersama melewati
gedung-gedung dan kerlap-kerlip lampu kota pada malam yang paling sunyi, lalu
kami akan terbang dengan tinggi.
Pada
malam yang tersunyi, tubuh-tubuh telah berkemas untuk terbang, melayang dan
membubung tinggi menyapu gedung-gedung dan belantara kota, menyisakan kata
selamat tinggal dan meninggalkan jejak tipis di pusat kota. Dalam posisi yang
berlawanan, kami tak akan pernah saling tertukar, masing-masing punya alur dan
arah yang berbeda untuk menempuh tujuan ini karena kami memang berbeda. Pikiran
kami berbeda, cara pandang kami berbeda, dunia kami berbeda, dan alasan kami
pun berbeda. Kami tak ingin saling memberi tahu, ini menjadi rahasia kami
masing-masing. Pada hitungan ketiga kami sepakat akan menjatuhkan tubuh di
tempat yang sama secara bersamaan.
Entahlah,
apakah saat itu kami saling menatap, atau saling berpegangan tangan, atau
sekedar sama-sama mengucapkan kata selamat tinggal. Yang kami rasakan adalah
kelegaan, ketenangan, dan kebebasan dari himpitan-himpitan yang menyempitkan
otak dan hati kami. Aku tak pernah bertanya padanya kata-kata apa yang dia
teriakkan untuk mengiringi kepakan tangannya yang tanpa sayap itu meluncur
cepat menembus batas kehampaan, kemarahan, kekalahan, kekecewaan, kesendirian,
dan keterasingan yang makin menguntit.
Semua
ini lepas tanpa harapan, tanpa keinginan, dan tanpa kesedihan. Kami terbang
dengan keterasingan, melepaskan semua beban meninggalkan jejak tipis tanpa
keinginan. Membiarkan tubuh ini teronggok dengan kebahagiaan tingkat tinggi
dengan kesendirian yang tunggal. Kami bukan paranoid atau Kaum Heboid, tapi
kami melewatinya dengan rasa gembira yang mendalam.
Kami
kembalikan tubuh ini kepada Yang Menciptakan dan tak perlu penjelasan atas
sadar atau tidaknya hal ini. Tubuh ini adalah bukti dan sebab mengapa kami
begitu sukar merumuskan alasan karena bahasa kami tak sanggup menyusunnya
secara sistematis untuk mengatakan apa yang sedang terjadi dalam tubuh ini,
diri ini. Kutinggalkan tubuh ini dan membiarkan semesta memahaminya sendiri.
Kami
kembalikan tubuh ini kepada yang menciptakan dan tak perlu penjelasan atas
sadar atau tidak, hal ini terjadi .tubuh ini adalah bukti dan sebab mengapa
kami begitu sukar merumuskan alasan karena bahasa kami tak sanggup menyusunnya
secara sistematis untuk mengatakan apa yang sedang terjadi dalam tubuh ini
.kutinggaljan tubuh ini dan membiarkan semesta memahaminya ssendiri.
21Juli 2013 pada sebuah Galery( Bali)
2 komentar
Sebagai manusia sudah sepantasnya kita terus merenungkan apa tujuan kita hidup, tulisannya menginspirasi
Thks ya teteh..
Terkadang kita kehabisan waktu untuk memaknainya.
Posting Komentar