Ini kah tempatnya? Satu daerah yang terletak di
wilayah Cianjur sekitar 4 jam yang harus ditempuh dari terminal kota.Tepatnya
Kampung Linggamulya.Suasana pedesaan terasa kental sepanjang perjalanan hanya
gunung dan sawah.Rumah-rumah panggung dengan kebun yang luas.Sawah, tebing dan
bukit. Sahaja sekali. Aku merasakan udara segar yag menyeruak lewat pori-pori
kulit yang tiba-tiba tertutup menahan dingin dan kabut.
Mobil yang ku tumpangi tampak kelelahan karena membawa
penumpang yang melebihi batas.
“kamana neng?” kenek berewosan
dengan kaos bergambar grup band terkenal meyikutku.Aku terlonjak.
“ Linggamulya” kataku
Serentak kenek itu diam.Matanya melihatku dan temanku Azzila
bergantian.Sedangkan penumpang di sekitarnya ikut-ikutan pula melihatku.Aku dan
Azzila berpandangan. Seberapa aneh kampung Linggamulya itu?? Sampai semua orang
melihat aneh gini??
“Eneng mau kesiapa?” tanyanya seolah mewakili penumpang lainnya.
Seorang penumpang berdehem iseng.Aku menarik nafas.Beberapa penumpang tertawa.
Suasana ricuh.Penumpang aneh, mereka seperti datang dari negeri yang asing.
“ Mau ke pak Kades” kataku
sedikit ketus. Ah memang
sulit menghadapi suasana baru.
“ Oh, berheti saja di desa
neng, masih jauh nanti naek ojeg dari
sana.25 ribu ongkosnya neng!’ kata kenek itu.Aku kaget mahal amat. Tapi ya
sudahlah, jauh kok.aku sendiri tak yakin bisa sampai.
Azila
merenggut, mukanya sudah tak jelas. Kecantikannya pudar. Entah mungkin karena
perjalanan jauh atau dia shock datang ke daerah yang jauh begini.Azzila mungkin
tak sebaiknya ikut denganku.Aku sendiri tak tahu sampai kapan ada disini. Duh
aku menyesal membawanya.
Sampai
di Desa ternyata mereka sudah tahu akan kedatanganku. Kepala Desa menyambutku
juga beberapa staf. Melihat Azilla mereka seperti baru melihat manusia.Meneliti
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku menarik nafas. Susah memang jadi orang
cantik.
Setelah menempuh perjalanan yang agak jauh.Akhirnya aku
bisa istirahat di rumah panggung yang terbuat dari bilik dan depannya di teras
permanen. Katanya inilah rumah dinasku di temani wanita berusia 47 tahun sebut
saja Mak Cicih.
Azzila menatapku penuh bingung
saat segelas wedang jahe di suguhkan mak Cicih.
“ Ayo Za minum, ini baik buat tubuh agar tidak
masuk angin!” kataku dengan senyum
“Apa tuh? Apa gak ada rokok? Dingin
begini “ Katanya .Aku mendelik pada Azilla yang nampak bingung dengan muka
dilekuk-lekuk.Rokok? Dia pikir ini dimana!
“ Za, ini dikampung, udah
minum!” kataku mendelik setengah memerintah.
” Maaf mak, apa disini tidak
ada klinik atau setidaknya mantri kampung?” Kataku langsung pada persolaan.
“ Ada kalo deket desa neng,
tapi disini mah gak ada.”
“ Neng sebaiknya hati-hati
kalo ngobati tamu jangan tatap mata pasien laki-laki “! Katanya . Aku tertawa
juga Azzila.Aneh.
“ Ah..emak masa saya ngobrol
sambil merem?” Kataku.Mak Cicih mesem.
Seminggu aku mengobati pasien saat itu juga aku merasakan
keanehan yang ganjil, mengapa banyak sekali pasien perempuan muda dan separuh
baya. Rata-rata mereka mengeluh penyakit dengan gejala yang sama. Gatal dan
bernanah di sekitar kemaluan.Aku tak berani menyimpulkan ini penyakit kelamin,
tapi mungkin hanya alergi.
Mereka
umumnya berdandan sangat menor terkesan seksi tapi terkesan maksa.Kampungan.Tapi
ya wajar saja ini memang kampung.Kadang aku ingin tertawa melihat model baju
mereka.Canda dan tawa mereka cenderung menggoda dan kenes pada lelaki yang
kebetulan lewat bahkan terang-terangan mereka berani mengajak berkencan atau
pergi.Sedangkan pada ku dan Azila mereka cenderung sinis. Aku tak mengerti apa
yang mereka pikirkan dan apa yang mereka cari.
Pada suatu hari aku berjalan-jalan keliling kampung hanya
ingin tahu bagaimana lingkungan sekitar. Azilla tidak ikut akhir-akhir ini dia
banyak menghabiskan waktunya di saung dengan penjaga kolam. Aku pikir itu lebih
baik karena jika ikut ketempat praktek kasian dia harus jalan kali sekitar ½
jam lamanya dan lagi dia tak akan kuat melihat pasien-pasienku yang aneh .
Azilla,
silembayung senja.Wanita cantik yang baru kutemui sepanjaang hidupku.Aku tak
ingin menyakitinya atau meninggalkannya.Lecet atau luka ditubuhnya adalah luka
bagiku yang berani membawanya kesini.Bahkan setelah sampai sini aku malah
banyak meninggalkannya karena tugasku yang banyak.Tapi itu lebih baik daripada
Azilla di bawa kabur oleh laki-laki nya.Mungkin aku bisa gila atau mungkin aku
sudah gila?
Suasana kampung Nampak sunyi tapi pintu-pintu
terbuka.Rumah-rumah umumnya terbuat dari bilik bambu dan papan dengan cat
warna-warni halamannya luas dan ditanami aneka bunga.Terdengar suara musik
dangdut dan cekikian serta asap rokok.Aku melewatinya dengan penuh tanya? Tak
ada satupun yang menyapaku, padahal mungkin saja ada diantara mereka yang
pernah menjadi pasienku.
Bahkan saat
satu perempuan kira-kira usia 25 taun berambut sebahu, agak keriting, matanya
cekung, alisnya tebal, karena memakai pinsil alis, serta bermake-up tebal
sekali.Dia baru saja menjemur bajunya dan dia hanya mengenakan BH dan handuk
untuk menutup bagian bawah tubuhnya.
Aku hendak
tersenyum.Kalo tak salah Isah atau Iis atau Lilis namanya, aku lupa.Dia bahkan
tak menghiraukanku langsung masuk kedalam dengan bergegas.Menutup pintu.
Apakah sudah demikian parah masyarakat sini seolah tak
ada norma atau nilai –nilai pranata yang dipakai disini?Atau demikian tak
berlakunya ramah tamah dan etika disini? Ini negeri apa? Bukankah lambang
negaranya masih sama BhenaTunggal Ika dan benderanya merah putih? Aku menunduk.
Kasihan.
Aku terus
berjalan melewati bukit yang ditanami pohon pinus. Agh…aku menyesal tak membawa
Azilla padahal indah sekali pemandangan disini.Mataku nyaris tak berujung
menatap alang-alang yang menghampar dan tingginya pohon pinus seperti ingin
memecah langit.
Aku berdiri
mematung seperti terlahir dalam episode yang beda hilang keganjilan yang ku
temui sepanjang perjalanan, yang ada kini hanya keindahan.Indah dan sejuk.
Aku mencari
tempat untuk duduk menselonjorkan kaki yang terasa mulai pegal.Tiba-tiba datang
nenek-nenek dengan gendongan yang terkesan berat.Aku terlonjak kaget entah dari
mana datangnya.Nenek itu tersenyum aku mengangguk akhirnya kutemukan juga orang
yang senyum padaku meski seoarang nenek di tengah-tengah hutan pinus.
“Neng
dokter? Katanya menyalamiku. Aku
bahagia sekali ada orang yang kenal aku dan juga profesiku.
“ Sehat nek!” jawabku seraya
menyalami tangannya. Tapi nenek itu tak menyambutnya.dia Cuma tersenyum.
Aku
menggeleng benar-benar desa yang tak diajarkan sopan santum. Mungkin jika Azila
kuajak dan menyaksikan semua ini dia akan mencak-mencak menyalahkan nenek itu
atau para guru yang tak mengajarkan
sopan santun dan etika.Peradaban macam apa ini?
Tapi
kupikir harus dimaklum di Desa ini bahkan mungkin tak kenal apa itu adab?
Norma?nilai? pranata?sistem? aturan?etika ?atau apalah itu bagiku tersenyum
saja sudah dapat point 100 menurutku.
“Bukan orang Lingga ya?nenek
tau dari bau tubuh neng!”Katanya. Aku terhenyak. Kok bisa?? Memangnya bau tubuh
orang sini seperti apa?Reflek aku mencium ketiakku. Takut tubuhku BB.“ Iya nek,
saya lagi tugas.Saya dari Jakarta “ jawabku dengan senyum.
“ Neng orang baik jangan
lama-lama disini!” katanya sedikit menerawang.Aku mengkerut.
“ Saya hanya menjalankan
pekerjaan Nek, katanya disini terserang penyakit aneh yang gejalanya sama.Tapi
kok yang kena perempuan semua ya?” kataku tak berniat bertanya pada nenek.
“ Itu akibat kutukan yang
sudah berlangsung lama!’ katanya.Aku mengkerut.Kutukan?Mirip negeri dongeng
saja Ini hanyalah bakteri
menurutku. Beberapa kawanku di Jakarta sedang memeriksakan hal ini di
laboratorium.Hal seperti ini ada di dunia medis.
“ Wanita-wanita
Lingga adalah wanita yang gatal tampa sentuhan lelaki.Mereka akan memburunya
untuk dibawa ke ranjang.Dan para pria disini adalah paraksatria yang akan
berubah menjadi arjuna tampan meski sudah kakek-kakek.Mereka bisa berubah
menjadi apa yang menjadi imajinasi para wanita saat di ranjang.” Katanya
dingin.
“ Dulu Desa
ini teduh sejuk rakyatnya someah dan
ramah.gara-gara perempuan bernama Sanggalawangi yang menolak laki-laki tampan
bernama Mulyapada untuk dikawini
dikutuklah desa ini menjadi desa pemuja lingga.Artinya desa yang memulyakan
lingga (kemaluan laki-laki), akibatnya para wanita selalu merasa tertarik pada
lelaki disini dan ingin melayaninya.Ini adalah bentuk kutukan sekaligus
penghinaan kepada wanita.Kaum Sanggalawangi.”katanya.Aku bengong.
“ Mungkin itu mitos nek,
penyakit warga wanita disini karena bakteri!” Kataku menyanggah sekaligus
membuang cerita aneh yang sebenarnya menyeramkan itu.
“ Boleh saja orang modern
bilang begitu neng, tapi hidup tak akan lepas dari masa lalu!”
“ Dibawah pohon ini dulu
Sanggalawangi menolak mentah-mentah Mulyapada, dengan alasan Mulya pada adalah
lelaki yang lemah meski sakti mandraguna, maka diubahlah pohon ini menjadi
bentuk seperti kemaluan lelaki, hanya untuk menguatkan bahwa lelaki itu kuat.”Katanya
“Kemudian di tariknya semua laki-laki untuk
bekerja diperkebunannya yang luas di Bunijaya.Maka sudah turun temurun wanita
disini memburu lelaki dan lelaki tak akan betah disini kecuali datang sebagai
penggoda dan pemalas yang minta dibiayai oleh wanita-wanita yang memintanya
menemani” si nenek bercerita, aku melongo dan tak bisa bicara.
Aku menatap pohon yang tidak begitu mirip kemaluan lelaki
karena sudah besar dan berjenggot.Aku bingung.Tapi ketika ku ingat-ingat lagi
mungkin benar dan terjawab sudah keanehan-keanehan disini.Tapi ini baru
hipotesa tak ada bukti. Secara ilmiah aku harus menyelidiki dan pastinya karena
wanita disini tidak diajari bagaimana caranya menghargai diri sendiri dan
penyuluhan seks yang kurang yang menyebabkan wanita menjadi berjalan tanpa
perhitungan.
“Mungkin
harus ada penyuluhan tentang pentingnya menjaga kesehatan nek, masyarakat
disini sudah termakan system yang salah!” Kataku
“Ya. Orang sekarang sudah
maju.Tapi jangan lupa pada sejarah neng, tradisi itu tak akan hilang kalau
pohon bertuah ini tak dihancurkan!”Katanya menatapku.Aku takut setengah mati.
“ Neng orang baik harus tau
yang sebenarnya, permisi!” katanya
Aku masih
melongok.Nenek itu sudah berjalan menuruni bukit. Aku terlonjak terlalu lama
menatap pohon tua berjanggut yang akarnya sudah timbul ke tanah karena kecapean
mengeruk tanah.
“ Nek..tunggu.Nama Nenek Siapa
?Nek terimakasih…!” aku mengejarnya. Tapi Jalannya cepat sekali.
“ Sanggalawangi!’ katanya
samar-samar menghilang di balik bukit.
Lagi-lagi aku terlonjak.Namanya mirip dengan ceritanya
tadi.Mungkin nenek ini bukan mahluk manusia seperti ku.Bukankah di hutan kadang
kala banyak hal-hal yang tak terduga?? Akh… takhayul kupikir nenek tadi hanya
memiliki kemiripan saja
.Aku tak
akan percaya begitu saja.Setengah berlari aku menuju pulang.Gerimis membuatku
panik.Ingatanku pada Azila semakin memuncak.Bagaimana kalo anak itu keujanan di
kolam? bukankah saung itu hanya beratap rumbia? Masih untung kalo dia sudah
pulang kerumah, bagaimana kalo belum? Kulitnya yang mulus pasti akan membiru
kedinginan? Kemudian sakit? Ah…aku melangkah sekenanya.aku berlari terus..aku
tak peduli dengan sekitarku..
Sampailah aku dikolam yang biasa Azila datangi yang
ditunggu seorang penjaga bernama mang Kaman. Aku berjalan perlahan melewati
semak-semak, dan aneh sekali semak-semak itu bergoyang-goyang beraturan.Seperti
mengikuti irama angin, padahal tak ada angin yang berhembus.Kupikir ada ular
yang lewat aku diam sesaat.Tapi terdengar nafas yang memburu dan seperti ada
suara-suara yang halus disana.Aku kaget bukan kepalang ada 2 mahluk disana yang
sedang berbaut mesum begitu kesimpulanku.Aku mengendap-ngendap.
Ada T-shirt
bermerak tergelatak juga CD bermerak yang aku kenal betul, bersebelahan dengan kain sarung kumal dan celana pangsi berwarna
hitam.Tiba-tiba mataku nanar aku nyaris pingsan dan tak kuat menahan tangis.
“Azilla!” Pekikku tertahan
Tak ingin aku menyaksikan semua mimpi buruk ini.Aku
berlari seperti tampa kendali.Aku ambil golok disebelah saung. Aku berlari dan
berlari.Ujung kakiku berdarah karena aku lari tampa alas kaki. Batu–batu aku
tabrak, kerikil, pasir, tunggul, apapun itu aku injak.Bajuku compang camping
tersangkut tumbuhan berduri aku tak peduli.
Aku harus
sampai pada hutan pinus saat aku bertemu dengan nenek tadi.Harus! Lukaku semakin besar bertabrakan dengan
airmata dan emosi.Kutabrak hutan meski waktu sudah senja.Hingga sampailah di
hutan tempat aku bertemu nenek tadi.Segera ku datangi pohon bertuah itu dan
kubabat habis. Dari mulai akarnya, batang, dahan, daun aku merangkak
membabibuta sambil berteriak.” Azilla…!”
Aku
menangis dan menagmuk.Aku seperti tak memiliki masalalu dan hari depan yang ada
adalah hari ini aku harus membunuh si Kaman dan pohon bertuah
itu.Samar-samaraku melihat nenek tapi diat ak mau mendekatiku, dia seperti
bayangan yang memberi semangat padaku seraya mnegucapkan terimaksaih, dia
melambai dan aku makin merasa bersalah tak mempercayainya.Aku menatapnya penuh
air mata.
Sekitarku berwarna putih. Kakiku diperban dan kepalaku,
juga ada infuse ditanganku.Aku terlonjak. Apa-apaan ini?Aku dokter siapa yang
memperlakukanku begini?”
“Far, syukurlah kamu dah
sadar?”
“ Zilla..!”Aku terpekik.
Kebencian memuncak dikepalaku tapi aku tak mengerti.
“Farah,
kamu kenapa? Aku sudah bilang Desa ini angker hutan-hutannya banyak yang belum
terjamah.kamu malah jalan-jalan sendiri. Kamu kemasukan setan tahu,s ampai kau
tebang 1 pohon tua hingga gundul.Farah.. aduh kamu ini bagaimana?”Dr.Sub mulai
nyerocos.
“Ini bukan mimpi, benar aku
amsih waras akulah yang membabat habis pohon itu!”Aku terdiam.Bingung.
“ Pakai apa aku membabat pohon
itu?”kataku dingin
“ Golok !” katanya. Disekitarku
ada Azilla, mak Cicih dan beberapa aparat desa yang berbisik-bisik.aku menelan
ludah. Lagi-lagi ini fakta.Bukan sekedar mimpi.
“Ah…kenapa kau lakukan Farah.
Kamu dokter malu sama pak mantri hutan?” Kata Dr.Subandi. Dokter senior yang
mengawasiku dari Kabupaten.
“Untung saja pohon yang ku
babat, tadinya si Kaman yang akan ku habisi!” aku berkata pelan menatap reaksi
Azila.
“ Farah..kamu ngomong apa? Ya
sudahlah istirahat lah” Dr.Sub menggelengkan kepala.
“Farah stress Dr. menghadapi keanehan pasien disini.Aku juga
sulit mengindentifiaksi wabah yang menjangkit disini.Sebaiknya Farah
diistirahatkan dulu pulang ke Jakrta.Dia stress!” Dr. Malik masih sesama
rekanku mengatakan demikian.Aku diam saja.Ya…aku memang nazis diam di sini
lagi.Hati ku sakit karena kenaehan desa ini yang menyebabkan Azila gelap mata
dan hancur. Aku masih dalam pengawasan Dr.Malik saat tersebar isyu bahwa
Dr.Farah Rajani jadi gila setelah masuk hutan dan membabat pohon keramat.
Akupun di beri nasehat oleh Kades dan Kaur setempat.Apa-apaan ini?
“ Duh neng
dokter, punten saya tidak mendampingi neng tugas.Tapi katanya teh kalo
laki-laki kesana suka tak kaut iman digoda sama perempuan-perempuan sana.Takut
tak tahan saya mah. Lalu gimana dengan jabatan saya dipamarentahan atuh bisa
ancur:” katanya sambil memijit-mijit kakiku.
“Kan mak dah bilang setiap
Dokter gak betah tapi neng maksa .kampung ini mah pantang ada dokter!’ mak
cicih ikut nangis.
“ Neng dokter kan mak dah
bilang jangan suka melihat mata lelaki orang sana apalagi ngobrol dan
bersapa-sapa sama tamu, bahaya!”Mak Cicih ikut menimbrung.
“ Duh.. gusti neng dokter kebablasan
jalan-jalan sampai ke hutan larangan.Jadi begini kan?!”Pak kadus ikut-ikutan
bersimpati.
Aku menarik
nafas.Dasar kalian yang tak ada usaha untuk memperbaiki moral wilayahnya
sendiri. Tapi ah…entahlah aku pusing..
“Jani..maafkan Zila, Zila tak menemanimu…” Azila
terus-terusan menangis.”Sembuh ya..sayang..” katanya
“Zila hari itu kamu ada dimana
?” kataku perlahan saat orang-orang sudah keluar dan mempersiapkan ambulanc
untukku.
“Aku di saung menunggu kamu
tapi memang rasanya seperti Miko yang datang ternyata aku Cuma mimpi, tapi aku
sadar ada disemak, basah.aku juga bingung.
”Azilla menangis.Miko adalah tunangannya yang berselingkuh dengan
perempuan lain.
Aku juga menangis mendengar keterangannya
berarti benar itu Azila. Bagaimana mungkin itu Kaman?Aku menjerit histeris
kesel dan menyesel.Menyesal telah memabwa Azilla. Sejak saat itu aku tak
melihat Kaman lagi.Ya, memang benar,itu
si Kaman! Aku tidak gila.
Aku terdiam dan menangis. Azilla tertidur di
sebelahku.Terlalu.Mungkin 10 tahun kedepan aku tinggal membuktikan dan datang
lagi apakah aku akan menajdi pahlawan atau malah aku jadi korban? Dalam keadaan
terpuruk dan tercabik aku masih mengharap bahwa pengorbanan kamilah tumbal bagi
ke sembuhan desa yang sakit itu.
15 Des 08 (Cianjur)
Tidak ada komentar
Posting Komentar