Sebuah rumah
yang tidak terlalu besar, dinding-dindingnya terbuat dari tembok yang sudah
lembab, cat putihnya sudah tak tampak lagi bercampur dengan debu. Garis tua
nampak semrawut memecah atap yang mulai renta. Cahaya lampu 25 watt menerangi
ruangan keluarga sekaligus ruangan kerja. Wanita berusia 30 tahun berdiri tegak, memandang keluar jendela yang setengah
terbuka. Perlahan udara masuk menerobos sunyi.
“Apa
enaknya toh berlama-lama di sini,
nak?” Suara wanita berusia 50 tahun memecah keheningan. Wanita yang dipanggil
‘nak’ menoleh sebentar kemudian mulai asik dengan buku-bukunya yang dia baca.
“Di sini
kamu akan makin menua dikelilingi hawa yang pengap.” Wanita itu mendekat,
menatap wanita satunya yang seolah tak mendengar apa yang dikatakannya.
“Tak
mungkin toh anak putri Hadisuwano
mendekap dalam ruangan sempit sepanjang malam, ditemani suara binatang yang
mengerikan...”, katanya perlahan.
“Ibu
khawatir, nak, di sini kamu tak akan menemukan pria pilihan, yang bisa
membahagiakan hidupmu. Wong di sini
ibu lihat laki-lakinya pekerja kebun semua, paling tinggi ya para guru, atau
pegawai desa. Mantri atau dokter puskesmas pun, sudah pada beristri pula, dan
rata-rata mereka pulang ke kota seminggu sekali. Sepertinya tak kerasan, di
sini hanya sebatas tanggung jawab pada pekerjaan saja!”, katanya. Berhenti lalu
duduk di kursi sofa yang sudah tak empuk lagi. Sang anak menarik nafas panjang,
meletakkan bukunya perlahan, menerawang keluar jendela.
“Ibu sudah
tak sabar ingin mempunyai menantu toh.
Berkali-kali Mas Sugeng pengusaha batik dari Solo menanyakanmu. Atau Pak Rahman
yang lulusan UGM itu, datang setiap hari Kamis ke rumah menanyankanmu: kapan toh kamu pulang?di mana Darani berada?
dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ibu sudah bosan menjawabnya. Dikiranya ibu
sengaja menyembunyikanmu.”, katanya diam sesaat.
“Bapak dan
Ibu bangga melihat kamu mandiri, Nak, meski mengajar melelahkan dan tak akan
membuatmu berkecukupan. Niatmu sangat terpuji, tapi Ibu cuma punya anak
perempuan satu-satunya toh. Ibu cuma
ingin kamu lekas menikah dan hidup bahagia di kota. Usiamu sudah 30 tahun, Nak,
sudah cukup untuk berumah tangga.”, katanya menarik nafas panjang. Sang anak
yang bernama Darani itu diam tidak berkata-kata sedikitpun.
“Kamu bisa memilih Mas Sugeng si pengusaha muda,
Pak Rahman yang dosen itu atau Widodo yang punya toko material. Mereka sukses,
muda dan Bapakmu setuju. Atau kamu punya pilihan sendiri, Nak? Perkenalkan saja
pada kami. Pasti kami akan setuju saja kalau itu pilihanmu.”, kata sang ibu
dengan suara lembut. Darani masih terdiam.
“Adik-adikmu sudah memperkenalkan calon-calonnya,
Nak. Joyo sudah memperkenalkan calon istrinya yang masih kuliah di Solo. Juga
adik bungsumu -Tiar- meskipun baru semester 8, dia sudah melamar Hanum guru SD
di Purworejo. Bapak dan Ibu
tidak melarang, dan tidak ikut campur urusan dan pilihan anak-anaknya. Bapak
dan Ibu merestui.”, katanya perlahan.
Darani bangkit dari duduknya, memandang jam tangan
di pergelangan tangnnya lalu berjalan mendekati ibunya. “Sudahlah, Ibu. Sudah
larut, sebaiknya Ibu beristirahat saja. Nikahkan saja adik-adik jika mereka
sudah ingin, jangan menunggu saya...”, katanya sedikit bergetar.
“Lho, ya ndak
bisa toh. Kita keturunan ningrat, Nak. Di depan nama kalian
itu ada ‘Raden’-nya. Ada silsilah dari nenek moyang yang harus ditaati, kalau
menikah itu musti pancakaki. Dari
yang sulung dahulu sampai yang bungsu, tidak bisa dilewat-lewat begitu, pamali!”, kata Ibu menjelaskan pada
Darani yang kehabisan kata-kata.
“Iya, Bu,
Dara mengerti. Tapi itu dulu, Ibu. Sekarang semuanya sudah berubah, zaman tidak
lagi memilih-milih siapa yang harus menikah lebih dahulu atau belakangan.
Semuanya berpatok pada kesiapan dan kepentingan, Bu.”, Darani berkata halus,
membaca sukma Ibu yang gundah sebab anak gadisnya yang berusia 30 tahun belum juga
menikah.
Menikah itu penting toh.Kita harus memiliki keturunan!”,
katanya tegas. Darani terdiam menyibukkan diri membereskan rapor anak-anak yang
bereserakan di meja. Sebagai pengajar sebuah SMP yang berjarak beberapa kilometer
dari rumahnya dan harus ditempuh dengan jalan kaki sebab kampung tempat dirinya mengajar tak bisa
dilalui kendaraan. Jalannya becek dan sempit, ia sudah lelah sekali. Tentu saja
Darani harus ikhlas melakukan ini semua, apalagi dengan kegiatannya setiap sore
ia mesti mengajar anak dan ibu yang tak kenal huruf untuk membaca, Darani
kelelahan tetapi ini cukup membahagiakan dirinya.
“Bapak dan Ibu rela membayar 10 kali lipat dari gajjimu di sini, Nak,
asalkan kamu pindah mengajar ke kota.Itu masalah mudah Bapakmu tinggal mengatur
dengan orang-orang Dinas.Atau berhenti saja mengajar dan meneruskan usaha
bapakmu!”, ibunya mulai naik banding melihat Darani yang nampak letih.
“Ibu, ini sudah kewajiban saya.
Desa ini membutuhkan saya, bu. Jangan ibu bandingkan gaji saya dengan
pendapatan Bapak!”, Darani sedikit tersinggung dengan apa yang dituturkan
ibunya. Dia duduk terpaku.
“Ibu tidak membandingkan toh.
Ibu cuma kasian melihat kamu sendirian, di sini semuanya serba sulit. Tak bisa
bawa kendaraan, tak bisa memakai hand
phone, makanan tak bergizi, ke rumah sakit jauh. Bagaimana kalau kamu
sakit? Rumah-rumah berjauhan. Bagaimana kalau sesuatu hal buruk terjadi? Siapa
yang menolongmu? Kamu itu perempuan toh,
Nak. Butuh perlindungan!”, katanya.
“Perempuan atau laki-laki sama saja, Bu. Kalau
sudah menghadapi musibah, ya musibah.”, Darani sedikit membela diri.
Darani menghela nafas, membiarkan ibunya duduk di
sofa dan terdiam. Hatinya mengetuk pilu berteriak keras memaki sunyi. Siapa
yang tak ingin menikah, bu? Siapa yang ingin sendirian di desa terpencil, bu?
Siapa yang tak ingin meraih bahagia? Siapa yang tak ingin punya keturunan? Siapa yang ingin mencemarkan nama baik
Keluarga Hadisuwino? Tak ada, bu. Aku melakukan ini demi kebahagiaan, aku ada
di desa ini demi ketenangan. Aku tak merasa hidup sulit, Bu. Aku baik-baik
saja. Darani berkata lantang dalam hatinya yang terbalut diam. Ibu
menatap kosong dan tak mengerti. Darani terdiam dan merasa terhakimi sebab
dirinya belum menikah.
“Sudahlah, Bu.
Menikah itu tidak mudah. Dara masih ingin hidup sendiri, Dara masih ingin bebas
memilih keputusan tanpa ikut campur suami.”, Darani merayu Ibu.
“Sampai kapan? Sampai
rambutmu beruban dan tulang-tulangmu peyot
begitu? Sampai Bapak dan Ibu tak bisa lagi melihatmu? Dara, ini tidak
main-main. Ini urusan martabat keluarga!”, Ibu membentak halus.
Darani menelan ludah,
pahit sekali. Tidak biasanya Ibu begini. Darani merasa, Ibunya mulai bersikap
otoriter.
“Katakan pada Ibu, kamu ingin laki-laki yang mana?
Atau kamu menunggu siapa? Sampai kapan? Katakan, Nak, kamu sudah tak karuan
dalam memilih masa depan!”, katanya, mulai tak jelas dibawa ke mana arah
pembicaraannya.
“Dara tak tahu sampai kapan menunggu, tapi telah
Dara putuskan agar menikah saja dulu adik-adik yang berkeinginan untuk cepat
menikah, tak perlu pedulikan Dara. Dara sudah memilih jalan hidup Dara
sendiri.”, katanya pelan.
“Tidak mungkin, Nak. Kamu akan jadi perawan tua!” Ibu
mulai sedikit membentak.Dara menarik nafas panjang menahan butiran halus di
pelupuk mata lentiknya. Bibir tipisnya sedikit bergetar, kerongkongannya terasa
kering.Tetapi Dara tetap tersenyum.
“Istirahat dulu, Bu. Besok kita lanjutkan pembicaraan kita”, Darini
menampar dirinya dengan topeng untuk senantiasa mengobati keluh kesah perasaan
Ibu. Dirinya terhempas jauh oleh pergaulan yang salah di masa lalu.
Dalam kamar
berdindingkan bilik Darini menarik nafas panjang seolah baru lepas dari masalah
yang menguntitnya.Darani tidur tertentang menerawang ke langit-langit kamar
yang warnanya putih bersiluet kuning oleh cahaya lampu templok.
Perkataan Suciatmi dokter kandungan sahabatnya telah memporak porandakan
hidupnya antara rasa malu, sesal, gegabah dan dosa.Dirinya bukanlah wanita yang
gampang memaafkan segala hal atau wanita yang menyelesaikan masalah dengan
kekayaan.Dirinya hanyalah wanita biasa yang berada diantara kurungan etika, norma
dan cinta.
Tidak
ada yang perlu disalahkan.Tidak juga Wardha laki-laki yang entah kemana
rimbanya setelah 7 tahun lamanya dia jalin.Darani tidak ingin mencarinya.Tidak
juga meminta pertanggung jawabannya.Dirinya yang memulai dirinyalah yang harus
mengakhiri.Baginya menjalin kasih dengan Wardha adalah hal terindah.Namun dia
harus akhiri dengan cara yang sangat menyakitkan.Hanya Suciatmi dan dirinya
yang tahu apa yang terjadi saat itu.Demi umenyelamatkan nama dan statusnya di mata publik dan keluarga.
Inilah
saat yang tepat untuk menebus kesalahan
dengan alasan dan caranya sendiri. Darini tersenyum mengantarkan Ibu pada tidur
gelisahnya, tentang memikirkan anaknya karena
takut akan menjadi perawan tua. meski Darini tidak mau menikah bukan karena
takut dibilang perawan tua mungkin karena sudah tidak...
5
Juni 2004 (Jogjakarta)
Tidak ada komentar
Posting Komentar