Matahari hampir tenggelam
saat sampai di Rumah Sakit Boromeous. Kabut menggumpal di balik awan. Galau
menyergap seluruh organ tubuh. Surabaya-Bandung terasa amat jauh bagaikan
menempuh setengah bola dunia. Setengah berlari maraton aku memburu, masih
terngiang di telepon suara seorang perempuan. “Ziya meninggal”, cuma itu. Selebihnya kesunyian yang maha dahsyat
menghantamku dan menarikku untuk kembali ke Bandung.
Ziya...
Kupanggil namamu agar tak
jadi pergi. Kumohon, buka matamu
sebentar saja. Ziya, aku Devv, aku minta maaf, aku... Habis seluruh
kata-kataku. Remuk tubuhku melihat tubuh itu terbujur kaku. Mata beningmu yang
lima tahun tak lekang mempedulikanku, bibir mungil hanya meninggalkan sedikit
senyum yang tak kupahami: apakah senyum itu bermaknakan kebahagiaan atau
kekecewaan.
Aku tak kuat menatap lagi, aku pergi dari
kerumunan orang yang tak ku kenal sama sekali. Mata-mata mereka penuh duka,
penuh luka, penuh tanya. Beberapa barisan mata itu seperti iba padaku, tapi
kadang seperti mencaciku, ya, penuh benci.
Ah... Aku butuh nafas. Aku berlari, mengaum seperti
harimau kepanasan. Mencakar pilar-pilar rumah sakit yang menatapku bingung.
Pergi, pergi... Aku ingin mengusir gerombolan orang-orang yang rata-rata
laki-laki berpakaian nyentrik semua, dengan tampilan yang membuat aku semakin
pusing. Mereka menangis, menciumi Ziyaku, memanggilnya dan keluar dengan
muka-muka duka. Aku cemburu dan terpaku. Betapa banyak yang peduli pada Ziya,
dari mulai anak-anak hingga bapak-bapak membawakan bunga untuknya.Dimanakah
Ziya hidup?seberapa asingnya Ziya bagiku?Aku tak mengenalnya sedikitpun tidak
juga peduli.
Percakapan mereka semakin menusuk-nusuk hatiku,
mereka tak mengetahuiku, mereka menganggap aku asing.Mereka seperti mengenal
Ziya begitu detil dari rambut sampai ujung kaki.Tempat ini sudah jadi ajang
pembicaraan yang bertemakan Ziya.Segalanya disangkut pautkan dengan
keperrgiannya.
“Aku tak menyangka, kita sudah siap pentas
besok.Ziya baik-baik saja malam tadi bahkan dia sempat ikut membantu artistik
sampai jam 3 subuh.Bagaimana ini!”Laki-laki berusia sekitar 35 tahun terlihat
panik, berkata pada temannya, yang tinggi kurus berambut gimbal, memakai kaus
hitam bertuliskan ‘Revolusioner Maju Terus’.Lelaki itu tak kalah kalutnya.
“Aku tak bisa cari gantinya
bang, sulit juga aku saja yang jadi aktor tembak, aku lumayan ngerti
naskahnya.Tinggal improve sedikit.Tapi gimana ini.Hati ini tak bisa
terima.”Laki laki berambut gimbal diam lagi.
“Kemarin seharian dia berkunjung ke galeri, ku
pikir karyanya sudah layak di pamerkan.Konsep drawingnya lumayan bagus! Sayang
sekali”, laki-laki bertubuh tinggi ikut nimbrung.Wajahnya kusut tampa ekspresi.
“Meninggalnya tak wajar,
sebab satu hari yang lalu ia baik-baik saja, bahkan sempat latihan dengan
anak-anak!”, seorang laki-laki bertampang sangar dengan anting-anting di
telinga berkata setengah berbisik.
Nampak kedua matanya sembab dan hidungnya memerah. Dia menangis.
“Dia bisa ada diantara
kita.Dia seperti energi yang tak ada habisnya.”laki-laki berambut gondrong
keriting tak henti-hentinya merokok menahan ketegangan yang ada.
“Besok keluarganya baru bisa
menjemput!”Seorang perempuan menimpali.Ketiga lelaki tadi langsung terbangun.
“Kita tunggu disni.Dimana
kelaurganya?”
“Ortunya di luar negeri.
Ziya anak perempuan satu-saunya. Dirumahnya kosong tadi pembantunya tak ada.Aku
juga tak kenal kelurganya yang lain.Ziya tinggal di apartemenya dengan ku”
Jawab perempuan tadi.
“Aku baru tahu.Kita terlalu
sibuk dengan diri kita sampai tak kutahu dia tinggal dimana..”laki-laki
berambut gondrong menarik nafas.
“Ya.Kadang kita merasa dekat
sekali, sayang sekali tetapi kita ternyata tidak tahu apa-apa”
Kemudian suasana sepi.Mereka
tidak bicara lagi sibuk dengan pikirannya masing-masing.Matanya menerawang jauh
mungkin mengingat masa-masa ketika bersama Ziya.Aku terpojok.
Aku benci tapi tak bisa berbuat apa-apa.Bahkan
untuk mengingatnyapun ketika ku
bersamanya aku tak bisa.Ziya memang ada untukku tapi ingatanku seperti hilang,
yang ada hanya kekosongan di hatiku.
Makin sore orang-orang makin banyak.Bahkan aku
sudah tak ingat berapa lama aku duduk disini.Semua mengaku temannya Ziya dari
mulai teman kampus, LSM,sanggar, jalanan
sampai teman tak jelas ada semua.
Aku tersentak. Berapa banyakkah
lelaki yang berhubungan dengan Ziya.
Apakah mereka tahu kalau aku yang seperti patung, dungu dan beku ini
adalah
kekasih Ziya. Apakah mereka akan menertawakanku? Memelukku? Atau
membunuhku?
Kembali otot-ototku mengejang, tubuhku
lebih kaku, nafasku hampir habis, mataku sudah tak awas lagi, merah, kuning,
biru. Ah.... aku butuh udara, aku berteriak lagi, semua orang memandangiku.
Asing dan aneh. Aku seperti makhluk luar angkasa di sini. Mereka seperti jauh
mengenal Ziya, mereka merasa seperti paling memiliki Ziya.
Aku sudah hampir jatuh ke lantai ketika seorang
perempuan menahanku dan membawaku ke kedai minuman. Dia nampak pucat, tapi aku tak
pernah mengenalnya.
“Apa kabar, Devv?”sapanya lurus. Aku masih diam.
“Aku Cameli, sahabatnya yang meneleponmu!”, katanya menyalakan sebatang
rokok. Asap mengepul. Aku masih tak bisa bicara.
“Ziya pernah bilang menunggumu!”, katanya terdiam.
” Tak ada waktu dan ruang untuk tak mengingatmu. Ziya benar-benar memilihmu.Tapi
mengenai ini aku tak tahu.Aku telah menemukan Ziya dalam keadaan tak
bernyawa.”Katanya pelan.
Air mata keluar dari kedua matanya
yang sembab.Aku sudah tak bisa mendengarnya lagi sekitarku terasa berat dan
gelap.Namun tubuhku terasa ringan seperti kapas dan angin membawaku terbang
entah kemana.
Aku
berharap angin bisa mengembalikan aku ke masa lalu kemasa dimana aku masih
menemukan Ziya.Aku terus terbang tinggi.
12 September 2006(Bandung)
Tidak ada komentar
Posting Komentar