1.
Cukup Berhak kah?
Ini mungkin sangat tiba
tiba, ketika waktu memaksaku untuk masuk kewilayah ini. Dengan penuh ketakutan
dan perasaan tak jelas aku menjadikan diriku bagian dari permainan semesta yang
sangat kontradiktif dengan hati dan logikaku. Apakah ini bagian dari takdir
yang Tuhan gariskan atau ketololan semata yang tak sempat ku pahami. Ketika aku
memutuskan untuk menjadikannya bagian dari sejarahku, maka alasan yang pantas
adalah membiarkan hidup berjalan sewajarnya tanpa penjelasan. Jika hanya alasan
yang bersumber dari pertanyaan mengapa, manusia sudah terlalu pandai membuat
alasan dengan logikanya, persepsinya, penemuannya atau sekedar bersilat lidah
ngibul sana sini. Pokoknya bebaslah itu mah
terserah.
Namun memahami dengan
sungguh sungguh akan alasan pertautan ini hanya waktu dan kosmos yang bisa
menjawabnya. Aku sudah memutuskan untuk membiarkan semua ini mengalir. Aku mohon sudahilah
praduga yang siap dimuntahkan orang orang so tahu itu, dengan membiarkan otak
dan jiwaku yang datang tanpa sekat dan perantara dari siapapun ini menemukan
sisi lainnya. Membiarkan rasa ini mengalir bebas dalam diamnya egoku karena
ini urusan hatiku, hakku dan kebahagiaanku. Lalu masihkah aku dikejar
bayangan hitam tentang batasan normatif dan attitude status sejarahku sendiri?
Biarkan semua ini kuselesaikan karena aku cukup tahu batasan, dan tak bisakah
kau alihkan perhatianmu yang nyinyir itu pada hal imajinasi lain, yang bisa
melogikakan kalian. Aku laki laki, manusia biasa. Masihkah aku punya hak untuk
merasa? Sempatkah aku merasakannya?
Aku berlari lari
keappartemennya bayangkan dia sakit siapa yang mengurus semua ini.Selama 1
tahun ia menjadi assistenku, bahkan aku tak sempat menanyakan rumah, pacar atau
suami atau
apalah apalagi mengantarkannya pulang. Pintunya tak terkunci, ini pukul 8 pagi.
Apakah pekerjaanku masih dia selesaikan? Aku terkaget kaget
bagaimana mungkin dia bisa mengerjakan semua ini, untuk persentasiku pagi ini,
padahal dia juga dosen dan harus mengajar, aku tau jadwalnya yang lumayan padat.
Aku tak bisa menyembunyikan sedihku. Assistennya Tiara yang menghubungiku
katanya" Selamat pagi Pak Nakta, ibu Mikha kemarin kecelakaan kecil
menabrak trotoar jalan ya...sekitar jam 11 malam. Sekarang sudah di
appartemen.." katanya. Saat itu aku sedang ada perkuliahan. Jantungku
copot mendengarnya. Tetapi ya.. terus mengajar saja karena aku harus bagaimana?
Tak mungkin kan aku lari dan meninggalkan mahasiswa yang tengah menatapku
dengan penuh curious. Tak ada yang bias menggantikan aku, dan aku sangat menyukai
perkuliahan. Rasanya menarik sekali anak anak itu. Mereka penuh semangat dalam
berargumen, megeluarkan jurus- jurus teori andalannya, berebut ide
menyelesaikan case yang sedang jadi topik pembicaraan. Di zaman yang serba
internet ini memang mudah dalam mencari bahan apabila ditunjang dengan
keinginan dan support dari lingkungan. Ada perdebatan yang Panjang antara kabur
meninggalan kelas atau stay walau kacau balau minimal sampai bahasan abis.
Ya semua ini
manusiawi bukan? Hidup tidak hanya melulu mengandalkan logika perlu ada
bumbu-bumbu lain yang bisa menggetarkan hati. Jadi Mikhaela ini maksudnya bumbu
gitu? Ya tidak juga..ini hanya perumpamaan saja. Seberapa pentingnya Mikha membuat aku
berhenti sejenak tetapi kemudian melanjutkan lagi. Aku tak punya banyak waktu
untuk memikirkannya saat ini harus menyampaikan materi. Kurasa Mikha sudah baik
baik saja, hatiku sudah lama mati, jadi jika ada sinyal-sinyal aneh logikaku
dengan mudah mematahkannya.
Terkadang aku tak paham benar apa itu rasa.Ya
sedikit berdebar tapi ini sangat mengganggu logikaku. Segera setelah selesai
aku turun kebawah dan aku tak sempat istirahat padahal kelelahan
menguntitku.Tetapi malam inipun aku tak bisa menjenguknya, karena dirumah sudah
ditunggu, mungkin akan bertanya- tanya kenapa sampe aku telat begini. Pikiranku
kacau. Tetapi jika sudah kacau aku mengandalkan logikaku dengan
mempertimbangkan efek keputusan yang kuambil Seberapa besar tingkat positif dan
negatifnya berikut untung dan ruginya. Ini yang paling parah Mikha adaalah manusia
berarti menyangkut Mikha adalah menyangkut kemanusiaan seharusnya sih tidak
memikirkan untung rugi lagi tetapi unlimited. Bersikap baik saja toh sudah ada
yang mengkalkulasinya.
Pagi sekali aku
menemuinya. Aku pergi dari rumah sangat pagi karena tak ingin terjebak macet
dan harus mencari alamatnya Mikha. Aku sampai dikamarnya, dia masih
tidur kulihat tangan dan keningnya diperban sedikit memerah. Tiara asistennya
membersihkan muka Mikha pelan. Aku ingin melakukannya sih sebenarnya tetapi baru
bab niat aja aku sudah berkeringat.Entahlah aku tak berani seperti ada tali
yang kuat yang mengikat kedua kakiku. Menyentuhnya aku tak bisa. Mungkin juga
diotakku sudah terkunci tidak bias. Jadi ya tidak bias, aku seperti patung yang
hanya bias berdiri, aku hanya bisa menatapnya kemudian menundukan kepala dan
entahlah aku merasa ada luka di jantungku, rasanya sakit dan menusuk tetapi
segera kuabaikan.
Di usia yang sudah menginjak kepala 4 aku tak mampu
berbuat banyak aku merasa tak berhak juga tak bisa. Aku merasa tak bisa
melakukan apapun hal itu. Mungkin karena kondisiku, walau sebenarnya hatiku
ingin. Sejak 5 tahun lalu aku mengenalnya sebagai assisten dikampusku itu saja
yang aku katakana tentang Mikha. Aku memang aku selalu menjaga citraku, harga
diriku, wibawaku dan seantero nilai positif lainnya yang mekekat padaku. Sebenarnya
itu bukan mauku keadaan yang mencetakku. Aslinya ya aku begini rupa, manusia
biasa aja (gak bertanduk juga).
Aku bisa disejajarkan
dengan dosen pavorit dikampus besar ini. Mungkin karena gelar MBA dan PhD yang
ku dapat di Shefield University UK. Tetapi aku rasa juga tidak banyak lulusan luar negeri disini. Mereka juga
berjuang keras sama seperti aku untuk mengejar scholarship. Sebut saja rekanku
dosen Marketing yang lolos manis dengan scholarship LPDPnya. Juga beberapa
rekan yang lolos AAS melenggang untuk study ke negeri Kangguru. Ada juga yang
pake Erasmus untuk Eropa, Nufic Nesso untuk Belanda dan lainnya. Tak kalah
hebat dengan rekan-rekan lainnya yang lulusan dalam negeri. Taka da bedanya
semuanya bekerja keras.Pavorit.
Jadwalku padat dari mulai mengajar S1-S3,
seminar, conference baik nasional atau internasional, meeting dimana mana,
jadwal bimbingan dan sidang mahasiswa, belum lagi harus membuat persiapan
materi, jurnal, silabus, quiz, projec yang dikejar dateline dan lainnya,
sebareg kunjungan dan konsultasi yang tak ada habisnya, membuat waktuku habis untuk hal hal yang berhubungan
dengan akademisi. Tetapi ini adalah dedikasiku aku begitu mencintai
pekerjaanku. Seperti itu keywordsnya.
Lalu seiring waktu disela kesibukan mengajarku yang
padat seorang assisten yang baik hati tutur katanya halus, pemalu dan selalu
memperhatian dan membantu setiap keperluan mengajarku datang. Dia selalu ramah
baik dan iklas membantu, aku tak melihat sedikitpun sikap menjilat atau apapun
dalam dirinya. Aku terpana dan menyebutnya malaikat. Ya memang namanya
Makhaila. Dia selalu menyiapkan teh untuku. Hal itu yang tak pernah kutemukan
pada assis sebelumnya. Ini agak mirip pembantu sebenarnya tetapi itu bukti
services yang full. Dia cuek aja melakukan semua itu sampai aku tanya
pendidikan historynya dia lumayan juga
lulus undergraduate di salah satu perguruan pavorit di kota ini. Bahkan
pernah ambil English Academic Purpose di Malaysia. Sebenarnya aku sedikit kepo nanya- nanya juga kerekan lain.Tapi
sambal pura-pura. Gengsi.
Wanita itu adalah Mikha
yang kini ada didepanku. Deg jantungku berdegup kencang. Aku terlalu memikirkan
diriku bahkan didepan orang yang seharusnya kuberi empati. Mikha. Tetapi
rasanya aku risih atau gengsi harus berbagi hati dengannya.Aku belum bisa
menerima ini namun aku merasa memiliki kebahagiaan sendiri mengenai ini. Entahlah
seberapa besar energiku bertahan untuk menjaga rahasia ini.Aku cukup lama
bertahan dengan rasa ini meski aku sudah menyangkalnya dan membunuhnya.Bagiku
ini terlalu membuang buang waktu. Hati yang tak nyaman membuat pekerjaanku tak lancer.
Membuat waktu berhenti mendadak dan jantung selalu berdegup kencang.Akupun
mulai khwatir akan struk mendadak jika merasakan hal ini terus menerus padahal
aku bermimpi mengantarkan anaku yang paling besar untuk study ke luar negeri.
Dia ingin masuk ke Glagow of Art karena begitu suka dengan desain. Stop bukan
waktunya memikirkan anak. Aku sangat merasa bersalah jika ingat hal itu.
Secret. Simpan saja dalam hati.
Aku melihat wajahnya ku
sendiri dicermin kamar Mikha yang memanjang sepanjang dinding.Cermin itu
seperti mengingatkan aku untuk kembali pada sejarahku. Pagi pagi diapartemen
orang mau ngapain coba? Bagaimana kalo ada orang lain tahu? Bagaimana dengan
citraku? Aku mulai gila dengan memikirkan harga dan citra. Aku mulai ragu untuk
melanjutkan hal ini. Bagaimana mungkin seberat ini melakukan kebaikan sama beratnya dengan
melakukan kejahatan? Kenapa harus takut bukankah menjenguk orang kena musibah
itu termasuk ibadah? Tapi kenapa sejak dulu aku selalu merasa takut bertemu
Mikha, padahal akupun pernah melakukan hal ini terhadap staff wanita atau dosen
lainnya. Lusa kemarin aku baru saja menjenguk temanku lahiran di Hermina,
sebulan yang lalu juga salah satu dosen wanita disini sakit dan aku membawakan
buah-buahan untuknya.Loh sama aja kan? Hush… ini berbeda aku dating sendiri
tanpa buah-buahan dan dipagi buta dengan sembunyi- sembunyi, itu bedanya. Loh
bukannya pembeda itu harus ada masa orang sama semua? Memang sih harus ada
tetapi disini aku yang mencitakan pembeda itu bukan dengan sendirinya. Nah
reason ini yang membuat aku mati kutu. Mungkin karena aku takut akan hatiku
bukan takut pada Mikha atau pada apun alas an itu.
Hatiku seperti tersentuh
tetapi aku mematikanya. Memang aku tersentuh dan sedih tetapi aku tak bisa
melakukan apa apa. Aku sudah terbiasa dengan kelempenganku meski banyak mahasiswa bilang aku baik cakep dan
pintar. Mungkin karena gambaran itu sudah cukup, aku tak perlu membuat
oranglain menyukaiku. Aku adalah orang yang kaku statis dan lurus - lurus saja,
tidak petakilan atau ramah berlebihan. Tetapi
aku memiliki senyum dan wajah yang manis, detail, rapi, sistematis dan cerdas. Karakterku
sebagai dosen baik itu sudah pasti. Aku kaget lagi .Kenapa aku terlalu jaim
begini? Malah muji- muji diri sendiri didepan mahluk lemah. Ini sangat lebay. Bahkan dihadapan wanita yang tak
berdaya? Plislah buang kejaiman dan kenarsisan itu saat ini.
Wajahku tiba tiba nampak
pucat aku seperti ingin menangis namun itu juga aku tak bisa.Aku membiarkan
asisten itu melakukannya, membersihkan luka Mikha, mengelap wajahnya dengan
handuk perlahan. Bahkan untuk melihatnyapun aku malu dan entahlah aku tak bisa.
Hatiku selalu tak karuan bertemu Mikha.
Aku duduk disofa yang
berwarna putih ruangan ini nampak nyaman, semuanya nuansa putih. Sekitarnya
penuh lukisan.Aku tak paham maknanya, ada yang abstrak, natural dengan
permainan warna macam-macam, yang
pastinya memiliki nilai dan makna dibaliknya.Tetapi aku tak begitu tertarik
menilainya.ya..secara keseluruhan Mikha memiliki apresiasi yang lumayan baik
terhadap seni dibandingkan aku. Pandanganku tertuju pada satu lukisan besar
yang memiliki komposisi yang berbeda, dengan empat buah lampu kecil berwarna
redup menyorot kearahnya. Nampak seorang wanita dengan segala keindahannya yang
tertutup kain merah disekitarnya. Lukisan wanita itu begitu menonjol nampak
hidup seperti memberi kesan “lihatlah aku kemari”. Akupun mendekat ingin tahu
siapa pembuat nya. Tertanda inisial G. Aku mulai iseng mengartikan inisial G
ini dengan Gilang, Gandy atau apa yang pasti bukan aku, karena aku berinisial
N. Asem. Kemudian pandanganku terarah pada satu lukisan disebelahnya Aku agak
kaget juga, nampak salah satu lukisan yang kukenal namanya. Aku terkaget kaget
menatapnya lukisan itu, benar milik salah satu dosen dikampusku dia salah satu
orang penting di Fakultas Seni Rupa. Bagaimana Mikha mendapatkannya? Tiba tiba
aku merasa takut dengan kondisi tak aman ini. Siapakah Mikha? Sejauh mana
hubungannya dengan dosen seniman itu. Bukankah seniman itu cukup terkenal
dikampusku juga dikota ini.Tapi kudegar dia sedang pameran di Jerman. Kurasa
temanku tahu tentang historis dosen itu. Aku mulai takut jangan-jangan Mikha
adalah anaknya atau siapanya gituuu. Keringatku kembali bercucuran, ini
pertanda warning. Aku mundur. Aku demikian gugup merasa terancam aku harus
segera pergi.Tapi siapa yang bisa melihatku dilantai 25 ini.Kurasa cukup aman. Aku
tak mengerti namun aku tahu Mikha memang menyukai seni bukankah dia juga
seorang penulis dan menyukai setiap seni pertunjukan? Pastinya Mikha sudah
melangkah jauh diusianya yang kepala 3. Aku menundukan kepala.Tetap tersenyum
dengan hati yang bertanya.Tiara mengagetkanku. Aku tersenyum kearahnya.
Impovisasi. Aku mendehem dan memicingkan mata, berdialog dengan Tia.
"Pak Nakta apakah mau
saya buatkan teh atau kopi atau apa pak..?" Katanya
"Boleh teh saja." Kataku gugup. Tiara
berlalu. Aku tak bisa lama lama disini. Aku menyeka keringat yang mengalir di
dahiku. Aku seperti dikejar kejar bayanganku sendiri. Rasanya sangat menakutkan
mungkin lebih menakutkan dari sidang manapun bahkan sidang disertasiku ku tempo
hari.
"Tiara, Mbk Mikha masih lama tidurnya? Kalo
begitu ruang kerja dimana biar saya ambil data saya.Tolong ya." aku
meminta izin pada Tiara.
" Bapak tidak menunggu Mba Mikha bangun? "
Tia menyelidik.
"Saya pikir Bapak mau nunggu Mba Mikha, saya
harus kuliah dulu pak" Katanya.Aku menarik nafas. Tak bisakah dia menunggu
Mikha? Kenapa harus aku? Kenapa tidak aku?.Kenapa kebaikan ini begitu terbatas?
Kenapa aku tak bisa melakukannya? Kenapa coba…alah selalu saja teks alasan
lewat dan itu mudah untuk aku kendalikan.
" mm..saya ada jadwal jam 9. Bisakah yang lain?
Atau saya minta tolong Tiara disini saja." Tiara menatapku. Dia seperti mengatakan
sesuatu dengan gelengan kepalanya.Dia berjalan kesebuah ruangan yang tidak
terlalu jauh. Mukanya ketus.
" Ooh soalnya sendirian sih" Katanya pelan. Aku
menatapnya sekilas. Sendirian? Apakah mungkin dia hidup sendirian. Mungkin jauh hingga tak
bisa menjenguknya. Wanita hidup sendiri rasanya itu tak mungkin. Aku hanya
bilang oh..sambil mengaggukan kepala. Lagi lagi Tiara menatapku.
Ada rasa aneh yang dia
sembunyikan terhadapku.Tapi aku harus bagaimana.Aku memang tak begitu kenal
Mikha urusanku hanya pekerjaan saja.Aku dan dia sepakat untuk itu karena hanya
itu yang bisa kami lakukan.Terus harus bagaimana? Aku harus menangis atau
menginap gitu disini? Ini sungguh keterlaluan.Tetapi keterlaluan yang sering
aku lamunkan. Rasanya aku bingung. Ya coba tolong bantu ya aku harus bagaimana?
" Oh..ayo pak disini ibu biasa kerja. Tapi saya
gak tau kalo data." Tiara mengantarkanku pada ruangan yang tidak seberapa
jauh dari sofa.Masih bernuansa putih. Banyak buku buku diraknya. Sepertinya dia
suka koleksi buku. Ada beberapa lukisan wanita dan bunga. Sentuhan feminimnya
terasa. Aroma bunga sedap malam dan cermin yang terbentang memanjang membuat
aku merasa seperti diruang dosen gedung perkuliahan. Mikha benar- benar
memperhatikan kenyamanan dan sisi kewanitaannya yang cukup berselera.
Aku duduk di tempat
kerjanya. Memperhatikan sekitar. Nampak jendela yang terbuka dengan
gorden berwarna putih. Pasti jika malam tiba Mikha bisa melihat keindahan kota
dari sini. Aku tertarik untuk menengok ke luar jendela diluar nampak ramai
namun tidak begitu gaduh. Mikha pasti sering duduk disini dan menatap keluar
jendela. Hm..seperti yang sering kulakukan dikantorku. Aku suka sekali
mengintip keluar jendela menatap pada kekosongan sekitar sekedar merefresh
pikiran. Berpikir kemudian menuangakan pikiranku pada pekerjaanku, rasanya
otaku kembali segar.
Mungkin Mikha begitu. Aku
berfikir keras bagaimana wanita ini begitu menyukai kesendiriannya.Tak
kutemukan lukisan atau photo laki laki di ruangan ini selain photo
keluarganya.Itupun hanya ayah ibu dan sodaranya yang disimpan secara
terpisah.Lalu bagaimana Mikha bisa menjalani kesendiriannya ? Mungkin dia
menyembunyikannya karena aku tak tahu pasti. Aku membuka laptopnya mencari cari
data kerjaanku. Namun aku belum menemukannya.Yang kutemukan catatan pribadi
Mikha.
2.Mata Yang
Sama
Aku melihat dia untuk
pertama di ruang besar perkuliahan umum. Aku datang sebagai staff assisten
beberapa dosen utuk menyiapkan keperluan mengajar juga terkadang mendampingi
jika dia memerlukan sesuatu. Aku menghargai dan melayani dengan penuh perhatian
siapapun itu dosennya. Dari mulai dosen tua yang cerewet, dosen yang baik, dosen
yang sopan, dosen yang religius, dosen yang ingin serba dilayani, dosen sombong,
dosen senior, dosen yang pura pura baik, dosen yang mody, dosen junior dan
lainnya. Aku tak pilih pilih orang, aku begitu memenghargai dan bersikap baik
seprofesional mungkin. Bagiku ini pekerjaan standarny sama, hanya aku memiliki
kebiasaan lain setiap apapun yang kusentuh hatiku ikut tersentuh. Aku mudah
tersentuh terlebih dengan kebaikan entah itu kebaikan yang tulus atau hanya
sekedar pura pura baik. Bagiku membantu adalah kebahagianku.Tak ada rasa
terpaksa atau lelah aku melakukannya dimanapun itu. Hatiku tak bisa tenang jika
tak bisa melakukan apapun untuk orang lain.Sekalipun untuk staff sepertiku tak
perlu turun begini, segala tinggal angkat telepon nyuruh OB,CS, beres tetapi
aku bahagia dengan tanganku bisa melakukannya.
Sore itu perkuliahan masih
ramai, aku slalu stanby jika pada suatu saat ada mahasiswa atau dosen yang
memerlukan sesuatu.Aku merasakan kebahagiaan tersendiri melayani mereka yang
terkadang waktuku habis untuk mengerjakan hal hal yang itu itu saja.Aku sedang
serius dengan pekerjaanku ketika ku terkaget kaget dengan kehadiran seseorang. "Sore
bapak ..ada yang bisa dibantu?"Aku mendongakan kepalaku menatap siapa yang
datang.Deg lama aku menatapnya.Aku menatapnya seperti orang kebingungan mungkin
tidak sopan tetapi aku sulit mengendalikan kekagetanku ini.Aku terpana pada
kedua matanya. Mata itu begitu indahnya, kecil namun
hidup.Wajahnya setengah lelah dengan beberapa keringat di dahi, senyumnya tulus
tetapi itu tak penting.Meski mata itu berada diantara 2 kelopak yang lelah
tetapi nampak berkarakter diringi dengan senyumannya yang sangat teratur dan
cukup manis.Mata itu menatapku .Mata yang penuh makna.Mata yang memiliki sinar
keajaiban yang mampu menyedot setiap dinding hatiku untuk membukanya.Mata itu
seperti magnet yang menahan setiap denyut jantung untuk berhenti.Mata itu
laksana panah arjuna yang siap menusuk hati Drupadi untuk lepas dari
kebekuannya.Mata itu memiliki energi magic yang melemparkan aku pada jejak
tampa sejarah.Aku merasakan pancaran matanya seperti sependar cahaya halus yang
sejuk dan kuat, seolah tak perlu banyak kata untuk membahasakannya.Energi
positifnya mampu menghilangkan ketakutan, kemarahan, kebekuan, kekakuan,
kesakitan, bahkan kekosongan.Bagaimana mungkin seseorang memiliki itu semua?
Kenapa ada padanya? Aku menatapnya seperti dia menatap mataku.Aku
menyembunyikan ini semua berusaha mengendalikannya.Aku sangat tak nyaman
dibuatnya.Bukan karenanya tapi karena matanya
mengacak ngacak hatiku.Bagaimana
dia memiliki kesempurnaan ini.Adakah ditempat seseram ini manusia yang memiliki
mata yang cukup bagus. Aku sudah lama memencari pemilik mata ini.Mengapa sama?Apakah
Tuhan sudah kelelahan membuat aku menunggu? Apakah Tuhan sudah bosan denga
sikapku yang apatis dan tak mau tahu? apakah Tuhan sedang kasihan melihatku? tapi ni bukan dia.Dia yang
pergi 10 tahun lalu meninggalkanku tampa jejak, meninggalkan luka yang
hampir berkarat dihatiku.Lukanya membekas mencabik cabik setiap nafasku dengan
tanpa berkesudahan.Entahlah sampai kapan waktu bsa menghapusnya.Aku mencoba
tersenyum dan mengucapkan terimakasih.Kurasa dia tak perlu tahu alasanku
menatapnya.Kutatap sekali lagi dia sedang membelakangiku aku masih tak
menyangka ada orang yang memiliki gestur tubuh sama tinggi dengan memiliki karakter sikap yang sama diam dan
sangat berhati hati.
Aku tak bisa mlihatnya
lebih lama.Selanjutnya aku terdiam dan mencoba menutupinya dengan berlagak
sibuk keluar ruangan.Aku menutupi degup jantungku yang tak karuan , aku tak
tahu harus kemana saat itu yang penting aku pergi darinya, ku menuruni tangga
satu persatu, menghitungnya dengan jantungku yang tak selesai berdetak.Aku tak
berani mengangkat kepalaku padahal tak ada satupun orang yang
memperhatikanku.Hanya ada beberapa mahasiswa yang berpapasan ditangga denganku,
senyumku mengembang pada beberapa mahasiswa yang berpapasan dan aku tak bisa
sembunyikan lagi bahagiaku diantara kebingungan dan kesunyian ditempat
ini.Semuanya seperti melayang, seperti melambung, seperti terbang tanpa arah.
Aku mengurung diri di
kamar mandi menatap diriku dicermin besar.Lama aku terpaku, seperti tak
mengenal diriku sendiri.Tak percaya aku dan hatiku masih bisa tersenyum.Setelah
mengalami kebekuan yang panjang Aku mencoba menyatukan bayang bayangnya dengan
bayang bayangku yang sempat mati karenanya.Ketika kutahu dia bukanlah seseorang
yang berlalu, dia bukanlah seseorang itu.Karena ini tak mungkin.Aku tak
peduli.Aku juga tak peduli apakah dia tahu atau tidak terhadap detak yang
kurasakan, aku tak peduli apakah dia hanya menganggap aka pesuruh atau apapun
itu.Itu tak penting.Bahkan aku sudah tahu siapa dia berikut latara
belakangnya.Aku hanya peduli pada rasaku tak penting dia tahu atau tidak toh
tahupun dia tak akan bisa berbuat banyak.
Aku hanya ilalang dipadang
tandus.Karena aku ilalang aku tak begitu diperlukan.Keberadaanku hanya sebentar
dan ada saja disini terlalu berlebihan jika ku menuntut dianggap atau diberi
makna.Sudahlah aku bisa meanjaga ini semua.Aku seperti menemukan nafasku
padanya.Rasanya tatapan mata itu sudah sangat dekat kurasa.Hatiku tak bisa
lepas dari mata itu.Aku melihatnya sempurna.Aku memandangnya lengkap.Seperti
apa yang ada di khayalku.Tentang mata dan suaranya ,mungkinkah dia sama seperti
seseorang yang sangat berambisi terhadap pekerjaannya.Mungkinkah dia sangat
detail dan perpeksionis?Mungkinkah dibalik diamnya dia sangat pemarah?aku
menarik nafas lambat sekali mungkin ia tetapi mungkin juga berbeda.Aku tak begitu mengenal
pribadib dia, yang kutahu dia orang baik.
Aku masih mengingatnya
betapa dulu aku disibukan olehnya. Saat itu dibalik karya serta idenya
akulah penyeimbang diantaranya hingga seseorang itu menghilang tanpa jejak,
tanpa kabar dan tanpa sejarah. Meninggalkanku dengan
sekian tanda tanya.Dengan sekian luka dan nestapa. Dengan sekian kesedihan yang
hingga kini tak kunjung sembuh dan tak pernah tahu bagaimana cara
menyelesaikannya.Aku belum mampu mengeksekusi rasa ini bahkankan meski banyak
pengganti.
" Halo Ibu..wah lagi apa bengong.Udah cantik
kok..beneran cantik ibu teh..Kulit putih halus, baik..pokokna mah pasti si
aanya jatuh hati deh.." Hah aku terkaget kaget.Mbak Neni aku tersenyum
petugas kebersihan yang sangat teliti dia sangat rajin ramah dan baik hati.Aku
tersenyum.Pura pura merapikan blazerku gengsi rasanya kalo ketahuan sedang
memikirkan laki laki apalagi yang kupikirkan dia.Laki laki setengah baya yang
sudah beristri pula.Ini konyol dan sangat menyedihkan.Kenapa? Hati ini yang
menciptakan Tuhan, jadi salahkan Tuhan begitu? Wah naif benar cara berfikirku
ini.
" Mbak Neni bisa aja..mm saya gak nyaman dengan
baju ini" Kataku menutupi kegugupanku.Mbak Neni tersenyum menatapku.
" Bu berarti ada 4 dosen ya yang ngajar makanan
udah disiapin diruangan.Tapi bu Pak Nakta dibawa pulang katanya.." Mbka
Neni melaporkan.Aku mengagguk.
" Terserah aja yang penting semuanya udah kita
siapkan.Jangan sampai mereka komplain hanya gara gara makan malam" Aku
menatapnya.
" Ibu kok baik banget sih..perhatian." Lagi
lagi dia menggodaku.Mbak Neni sudah kuanggap teman disini karena dia perhatian
dan sangat ramah juga bisa diajak kerjasama dalam segala hal.
" Itu biasa mbak.Kita harus baik pada
siapapun" Aku tersenyum meninggalkan Mbak Neni yang masih menatapku.Aku
menunduk. Kebaikan perlukah? Aku masih bingung dengan julukan yang
melekat padaku sebagai asisten yang baik.Mungkin ia aku baik karena hatiku
mudah tersentuh tetapi mereka tak tahu kalo aku sangat tertutup untuk urusan
hati.Terkadang kebaikan saja tidak cukup aku terjebak dengan kebaikan
ini.Mungkin karena kebaikan ku ini begitu mudahnya orang mempermainkanku bahkan
perasaanku juga harga diriku.Aku menarik nafas.Kebaikan?Perlukah?
3.MATAHARIKU
Ini hanyalah perumpamaan
atau persepsi yang kupelihara untuk ku nikmati sendiri.Mungkin bisa jadi
sejarah atau kebohongan sama sekali.Ini harus kusimpan sendirian.Ini adalah
pertemuan yang sangat singkat dan rahasia .Ini akan menjadi kenangan yang
kusembunyikan rapat rapat bahkan tidak untuk diketahui sebelah hatiku
sendiri.Aku menatapnya untuk kesekian kali pada situasi gelap dan sunyi.Mati
lampu.Aku panik bukan main.Bagaimana dengan kelas yang sedang berlangsung dan
sekian komplain dari dosen dan civitas.Aku tak bisa apa apa, aku tak punya persiapan
untuk megatasi semua ini.Pihak Maintenence juga tak tahu akan mati lampu.Tak
ada kata yang bisa ku kulantunkan selai mohon maaf.Aku. menaiki tangga tergesa
masuk ke ruanga kelas besar.Mahasiswa berkerumun sepertinya sedang persentasi
case group.
" Bapak mohon maaf mati lampu mendadak tidak ada
persiapan" Kataku memelas.Dia menatapku biasa saja tidak marah juga
senang.Mukanya lurus tampa ekspresi.
"Tak bisa pindah ke ruang lain? Sepertinya ruang
sana tidak mati." Dia menatapku.
" Tidak pak.Ruang besar dipake seminar
pak..sampai malam.Pesertanya banyak dari beberapa angkatan." Aku berkata
halus.Dia terdiam.Aku tak tega.Dia mengangguk angguk.Aku menunduk.
" Okay..gak papa saya 30 menit lagi beres"
Dia terlihat jaga wibawa berlalu ke kelas.Aku pun berlalu.Dibawah sunyi.Aku
terbengong dengan kaki yang memar karena terjatuh ditangga, hak sepatuku tak
sanggup diajak berlari sementara hati dan otaku melonjak terlalu cepat dipenuhi
rasa kekwatiran.Aku kwatir dengannya yang sedang ada kelas. Khwatir pada kelas atau pada
mahasiswa atau pada dosennya aku tak tahu.Tetapi aku khwatir. Aku tak ingin berantakan. Semua ini aku lakukan
hanya karena aku ingin aman. .Ada perasaan kosong tetapi entahlah dimana
perasaan kosong itu. Aku tak mampu menyembunyikan rasa ini.Aku menatap layar
monitor menarik nafas panjang, dalam gelap aku bisa tahu kalo aku sangat
lelah.Apapun itu alasannya aku hanya wanita saja, perempuan saja, assisten
saja, bukan sesuatu yang hebat dan superhero yang bisa merubah gelap
menjadi terang. Hanya ada doa yang mengantarkanku pada sedikit kelegaan
semoga semuanya akan baik baik saja.
Sunyi yang mengantarkanku pada sakitnya luka pada hati
dan kakiku. Luka itu menekan jantungku hingga seluruh aliran darah
menyebarkannya kesemua bagian organ tubuhku, perut, usus, payudara, paru-paru
,tangan, bibir, telinga, hidung, hingga mata. Secepat itu pula
luka membuat aliran bening pada kelopak dua mataku. Kesimpulan dari semua ini,
kunamakan saja air mata.Ternyata aku tetap saja perempuan. Menangis walaupun
sembunyi- sembunyi. Perempuan yang tak begitu saja lupa pada sejarahnya yang
memahami takdirnya sebagai garis yang tak bisa dirubah , meski berharap dimakan
karat waktu, atau dihanguskan api masa, agar hidup bisa dimulai
dari nol, tetap saja setiap kenangan buruk menghadirkan tangis.
" Mbk Mikha..ini sudah beres ya." Deg
jantungku berdetak kencang. Kenapa dia datang sekonyong konyong. Dia pasti
melihat mukaku dan mataku yang sedih. Ini tak boleh terjadi. Dia tak perlu tahu
keadaanku. Aku menatapnya. Dia menatapku. Kami bertatapan. Aku menatapnya
dengan sejarahku dan dia menatapku dengan sejarahnya. Ini ajaib .Bahkan dalam
gelap aku masih bisa melihat sorot matanya yang menusuk, cahaya mata itu indah sekali terang dan jelas,
rasanya seluruh ruangan ini terang benderang oleh sinar sinar matanya. Wow aku
takjub. Cahayanya seperti membentuk siluet senja yang sedikit tersembunyi
diantara batas langit, kemudian muncul dan hilang begitu saja dibalik awan. Aku
terbengong. Segera sadar ini bukan cerita dongeng, ini nyata, manusia ya betul
dia manusia bukan malaikat tanpa sayap yang sering aku khayalkan. Aku tersenyum
menyembunyikan luka yang aku juga tak tahu sebegitu besarnya pesonanya hingga
luka ini hilang begitu saja. Rasa ini seperti sempat kurasakan 10 tahun lalu
ketika aku menjadi Stage Manager pada pameran tunggalnya, semua ruangan mati, crew sibuk dan panik takut
akan hal buruk terjadi. Mereka segera menyalakan lilin, HP dan meminta tim
produksi melindungi semua barang di galeri. Saat itu aku tak bisa apa apa hanya
menatapnya dengan doa. Lalu dia menenangkanku lewat sorot matanya. Bahwa dunia
tidak akan berhenti berputar dengan mati lampu. Jangan konyol pliss..biasa aja.
" Kenapa Mbak.." Dia menatap kakiku kemudian
mukakaku. Aku tersenyum dan menunduk, malu rasanya. Kuharap ada keajaiban
seribu kunang- kunang dating untuk menutup mukaku. Tapi gak ada juga tuh
kunang- kunangan. Hm,,,
" Cuma kesandung , gelap soalnya, nanti juga sembuh. Ayo Pak silahkan duduk. Mau
saya buatkan teh.."Aku berjalan dalam gelap meski kaki ku terasa.sakit. Ini kebiasaanku sejak dulu
selalu bersikap ramah full service. Apalagi yang ini haduh rasanya aku seperti
disihir untuk melakukan yang terbaik. Mereka itu penting dan aku ini gak. Gak
penting penting sama sekali. Apa?Aku gak penting? Yaampun aku
menggelengkan kepala. Ini parah ya logika dan hati tolong jangan berdebat saat
ini suasananya sedang butuh kekompakan. Tetapi tidak bisa mereka saling serang
dan menyalahkan dalam diriku membentuk satu potongan percakapan pendek tanpa
judul. Si logika ini ngotot banget “ Kamu gak penting sama sekal ingat itu! Kalo emang penting kenapa kamu ditinggalkan
dan diabaikan??” Kenapa begitu mudah hidupmu dipermainkan? Kenapa?” Si hati
makin terdesak “Ah sudahlah.... masalah kepentingan itu relative, Lagian aku
yang membuat dia meninggalkan ku” SELESAI.
" Hm..boleh. udah gk papa.. Saya
sendiri" Katanya dengan tergesa, menuju ruang kopi. Aku mengekor
dibelakang. Gelap banget ni ruangan.
" Oh gak papa pak..bapak terangi saya aja..biar
saya bantu.." Kataku dia mengikutiku bingung. Gelap semua, namun anehnya
aku masih bisa bekerja, menyiapkan gelas ,teh dan gula semua itu tak tertukar
meski gelap menyelimuti ruangan ini. Mudah saja karena ada cahaya lain disini,
yang lebih terang dari cahaya manapun. Dia adalah matahariku, cahaya kehidupanku saat ini. Aku
bahagia dengan penemuan ini, ternyata mata hatiku tak mati. Ada dia matahariku.
Aku masih bisa melihat cahaya itu, meski dari cara yang sedikit lain, dalam
jarak dan kondisi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku percaya pada
semua ini bahwa mata hati itu ada, ada dimana- mana hanya saja butuh cara untuk
bisa merasakannya. Matahati itu perlu diasah untuk mengasahnya mungkin hanya
diperlukan ketulusan dan keyakinan. Mata hati itu lebih tajam dan tak perlu
cahaya untuk menunjukannya. Tidak perlu penunjuk, guide atau sejenisnya. Kehadirannya
yang bisa membuat hatiku yakin dan dialah sumber cahaya itu. Dengan segenap
perasaan dan halusinasi yang tercipta aku selesai juga membuatkan teh untuknya,
aku mempersilahkan dia untuk menikmatinya. Dia tersenyum menyambutku, akupun senang
telah melakukan sesuatu. Saat ini aku hanya ingin merasakan tak perlu pikirkan
atau bertanya apalagi diskusi tentang teh ini. Dijamin pasti enak dan manis.
Semanis senyumku untuknya di sore hari ini.
" Mohon maaf kalo tidak enak..keadaannya
gelap" Aku menundukan kepala.
“ Oh cukup baik. Terimakasih" Katanya kemudian kami
terdiam, mencoba membaca dan menyimpulkan pikiran masing masing. Aku juga
bingung harus bicara apa. Nampak kami saling memperhatikan. Aku menunduk pura
pura sibuk dengan membuka- buka absensi kelas hari itu. Padahal kan gelap mana
mungkin bisa kubaca? Tapi ya pura- pura aja. Bingung. Dia melihat wajahku
demikian detailnya. Dia memperhatikan aku dari ujung rambut sampai ujung sepatuku
dan kaki yang sedikit membengkak. Aku menganggukan kepala. Dia kaget dan
menganggukan kepala juga.
Aku tak tega dengan kelelahannya juga rasa bersalah
karena tak bisa memfasilitasi ruang pengganti untuknya, yang menyebabkan proses
pembelajaran tak kondusif. Sehingga empatiku tumbuh begitu saja melihat
kebaikannya dan keluasan hatinya, membuat aku menempatkan dia pada urutan
pertama sebagai orang penting. Jangan salahkan aku karena hal ini, mugkin
karena aku pernah menemukan ketakramahan dosen dosen lainnya yang begitu
mengaggap aku pesuruh dan komplementer. .Itu tak masalah bagiku. Menganggap aku
kacung atau jongos juga boleh asalkan tidak mengaggap aku wanita penggoda aja. Karena
aku tidak begitu. Bukankah waktu telah banyak membawaku pada pertemuan-
pertemuan? Pertemuan yang sengaja atau tidak sengaja. Pertemuan penting atau
pertemuan yang tak penting. Setiap pertemuan selalu menghadirkan cerita yang
berbeda tetapi tidak setiap pertemuan itu yang tak kubuat ceritanya. Terkadang
aku membiarkan waktu melewati begitu saja, aku tak ingin membuat sejarahnya. Aku
membiarkan semua berlalu dan disapu angin. Hilang tanpa makna.Lenyap begitu saja.
Terkadang aku berfikir itu hanya membuang- buang waktu. Penting dan tidak
penting begitu saja hilir mudik di ingatanku, keduanya siap berganti peran
untuk dilanjutkan atau dihentikan. Beberapa orang mengatakan aku adalah wanita
baik, aku halus dan suka mengalah tetetapi sebagian orang lagi bilang aku
adalah wanita judes dan pendendam. Hm….mungkin ia tapi itu cuma proteksi agar
orang jangan sampai berpikir bisa
memperlakukan aku seenaknya. Aku bisa sangat marah dengan kondisi tertentu
tetapi juga bisa sangat baik. Tetapi dibalik itu aku benci kemarahan juga
kesedihan. Jika keduanya terjadi, aku sering menghindar kemana saja, bukannya
menyelesaikannya. Entahlah mungkin sedikit pengecut tetapi aku tak ingin
terlihat lemah. Aku wanita biasa yang juga memiliki hati, dan bukan makhluk
asing sederajat alien atau makhluk astral yang berasal dari Planet Mars, atau
makhluk kasat mata dari dunia lain. Aku wanita dengan segala tingkat
sensitifitas yang tinggi dan aku wanita dengan segala identitas pembeda yang
melekat ditubuhku, jadi sudah dipastikan aku juga memiliki hati untuk mencinta
dan dicinta kemudian ber keluarga dan
melahirkan. Selesaikah? Kurasa tidak. Banyak hal yang kupikirkan. Mungkin jika
hanya itu tujuanku, mungkin aku sudah melakukannya sejak dulu-dulu. Namun itu
bukan hal mudah untuku karena hingga saat ini aku belum bisa menyelesaikannya
alias masih sendiri. Aku menarik nafas panjang menatap lukisan abstrak yang
terpampang di depan ruangan, lukisan itu begitu nyata karena kewanitaanku ini
begitu nyata, setiap lekuk tubuhku menyangga setiap inci bagian tubuh yang
lainnya, hembusan aroma nafasku cukup membiuskan kemelankolisan karakterku, dan
degup jantung yang melekat pada setiap titik nadiku, mengantarkan sebuah
identitas yang beda pada setiap bentuk dan fungsi. Aku memiliki semua itu. Apakah
pembeda ini yang membuat mereka hilir mudik memperhatikanku? Aku sudah
menyadari sepenuhnya akan dampak kesendirian ini. Ini hanyalah masalah
persepsi. Lalu salahkah aku dengan perasaan ini. Aku lama sekali menunggu
rasa ini. Jadi Kumohon beri pengertian pada ku. Aku tak pernah meminta janji
untuk apapun. Tetapi aku tak pernah bisa mengingkari kekagumanku ini, mungkin
ini teramat mencolok dan aku gagal
merahasiakannya. Hingga membuat mereka curiga. Curiga tanpa keputusan yang
usai. Berlalu dengan tatapan yang menyelidik bahkan balut keanehan yang
tertumpah begitu saja, tampa kompromi atau konfirmasi. Orang orang itu mulain
menyiksa psikologisku, membuat kutakut jika aku bicara dengan dia. Aku menunduk
menahan sakit. Mereka menanam ladang perih dihatiku. Mereka beramai ramai
memupuk isyarat untuk menyabotase hatiku agar aku mundur, dan sepakat menuduhku: aku tak pantas seakrab itu dengan
dosen yang berdedikasi baik. Apakah hati ku tahu tentang dedikasi? Nama baik? pencitraan?
Senioritas? aset kampus? atau apalah yang menggabarkan ketinggian derajatnya. Tentu tidak. Hatiku ini
tidak sampai mendekat ke area itu. Jadi kalo aku suka kepada dia. Ini bukan
mauku dan juga bukan salahku. Anggap aja ini takdir.
Aku menuju ruang santai mencoba bersikap wajar, tetapi
kakiku sakitnya bukan main. Namun aku tak mau terlihat lemah aku tetap
tersenyum. Entah mungkin dia kasihan dengan kakiku, karena kepanikan aku tak
kontrol. Kami menghabiskan waktu istirahat dengan bicara. Rasanya aku senang
melihatnya tersenyum bicara dan saling menatap. Gelap membawaku pada cerita,
kapankah waktu mengizikan aku bisa sedekat ini? Bukankah tempat ini begitu
seramnya?banyak orang orang pandir yang siap mencercaku disana jika mereka tahu
aku melakukan pelayanan ini.Yang menurutku ini biasa dan standar.Aku begitu
terpana dan hormat dengan orang yang baik. Meski kebaikan itu hanyalah sebuah
strategi murahan sekalipun, aku tak peduli. Itu wilayah Tuhan yang menilai. Urusanku
hanyalah melakukan. Aku masih perempuan yang dengan segala keterbatasan
pemikiranku yang sangat sentimentil ini berhak merasa menyukai dan mengagumi
ditambah dengan catatanku sendiri dimasa lalu. Aku begitu bahagia dengan
perbincangan santai ini. Menikmati teh disela kelelahan pekerjaan meski suasana
gelap dan ingar bingar aku bahagia. Aku menatapnya dalam remang yang gelap,
setiap aroma nafasnya yang teratur meracuniku untuk tetap bertahan dengan
rasaku. Aku tak pernah tahu apa yang dia pikirkan tentangku. Begitu pun dia tak
perlu tahu apa yang kupikirkan tentangnya. Hidup kita terlalu banyak
perbedaannya. Namun tak perlu merasa dibeda bedakan.Setiap api hati memiliki
rahasia nya sendiri. Lalu untuk apa kita memaksa saling tahu, bahkan memaksakan
diri mengatakannya. Kita sudah cukup dewasa untuk memahaminya atau
mengartikannya sendiri. Biarkan ini berjalan dengan sendirinya. Setiap rasa tak
penting memiliki nama. Anggap saja ini takdir. Aku dan dia masih terlibat
perbincangan yang sebenarnya kita tak perlu tau kualitas perbincangan kita. Terpenting
adalah hati kita yang bicara. Aku melihatnya dengan mata dan hatiku dia sungguh baik. Lalu apa yang orang orang
pandir itu lakukan? Mereka rela bolak balik mengawasi aku dan dirinya diruang
ini. Orang- orang itu seperti mencekik leherku dan memukul mukul kepalaku
membuat kepalaku pusing dan ingin berteriak: "Hei....pergi sana orang -
orang kepo.. jangan ganggu kami!" Tetapi aku tidak bisa dan tidak gila
melakukan itu. Aku hanya tersenyum dan mengajak mereka:" Ayo...silahkan
kita duduk bersama..." Sudah kubilang aku orang baik dan terpelajar
(katanya). Semua itu sudah mengkontrolku untuk setia pada status itu, pada
batasan dan norma norma. Aku cukup tau harus jaga sikap dan tutur kata. Meski
dalam konstruski imajinasi liarku mungkin saja aku ingin duduk berdekatan
dengannya tampa jarak sejengkal pun biar aku bisa merasakan dan berbagi kelelahan yang dipikulnya, menyeka setiap
butiran keringat didahinya, memegang tangannya yang terjuntai lemah dan menyimpan kepalaku dibahunya sekedar
melepas penat. Kemudian menatapnya lekat
kepada kedua matanya yang bagus itu, yang nampak berkantung dan sedikit
menghitam karena menahan kantuk atau kelelahan.Aku merasa dia adalah sosok yang
hilang yang telah kutemukan secara tak sengaja dIsini.Lama kami bicara seputar perkuliahan dan mahasiswa, pada hal
hal yang biasa saja.Namun yang biasa ini sangat berkualitas untukku mengingat
waktu begitu sulitnya kukendalikan saat ini.
Dia pamitan setelah mengucapkan terimakasih lalu aku
mengatakan sama sama dan hati - hati.Ini biasa saja bisa dilakukan oleh siapa
aja.Ini berlaku untuk semua.Hanya sikap ramah tamah.Tetapi yang tak biasa
adalah hatiku. Aku menatap punggungnya yang berlalu.Aku tak menahannya tidak
juga melepasnya.Aku hanya terdiam. Mungkin dilain sisi hatiku tengah bertoleransi terhadap sisi hati yang
lain.Sisi hati wanitanya dan anak anak yang menunggunya pulang. Hak keluarganya
dia. Belahan jiwanya .Kebahagiannya. Semangatnya. Tujuan hidupnya. Aku tak apa
apa tak merasakan luka. Semua itu sudah pada tempatnya. Aku menarik nafas
panjang. Merapikan meja kerja mematikan komputer. Pulang. Hal itu bukan tak
kupahami namun aku butuh energi untuk sedikit berdebat dengan hati dan logika .Berikut
aku perlu meresume pembelaan diriku yang lain bahwa aku hanya perlu rasa itu,
tanpa mau mengambil apapun dari dia. Jika saja hatiku ada pada orang orang
pandir atau jongos sekalipun maka aku pasti merasakan hal yang sama. Ada banyak
alasan memang, tetapi aku tak perlu alasan untuk membela diri sepanjang ini
hanya menjadi rahasiaku, aku juga tak perlu senjata untuk membunuh rasaku. Semuanya
akan baik baik saja tak akan ada lingkaran gelap yang menutupi dunia, atau
badai besar yang akan menenggelamkan bumi, semua ini mungkin hanya akan jadi
sia sia. Dan suatu saat nanti mungkin akan hanya jadi selembar kisah usang. Kisah
yang berharga atau mungkin juga kisah yang akan terbuang oleh takdirnya sendiri.
Namun bagiku saat ini, hal ini cukup berharga meski mungkin menurut sebagian
orang ini hanya sampah!....bersambung
Tidak ada komentar
Posting Komentar